Pages

Selasa, 11 Januari 2011

"Bimbang Tak Menemui"

Karya ::: Rosa Pamela Fatimah


Kini adalah hari yang di nanti-nanti oleh segenap siswa-siswi kelas tiga SMA sederajat di seluruh penjuru wilayah Negara Indonesia. Termasuk SMA yang merupakan tempat ku menuntut ilmu selama tiga tahun ini. Semua siswa di sekolah ku sengaja berangkat lebih pagi sesuai dengan kesepakatan yang di lakukan di aula kemarin. Kita sepakat untuk datang jam tujuh pagi karena biasanya kami berangkat jam sembilan pagi setelah menghadapi semua ujian yang telah di tetapkan.

Bagi siswa yang memiliki lap top di haruskan untuk membawanya untuk dapat mengintip hasil ujian yang menyatakan kelulusan semua siswa di SMA ku melalui blog yang telah di buat oleh sekolah. Tentu saja ada banyak siswa yang membawanya karena rata-rata teman-teman ku yang berada dalam lingkup sekolah adalah anak-anak dari orang kelas menengah ke atas. Namun tak pernah ada pemisah di antara semua siswa untuk saling bergaul dan melaksanakan banyak hal secara bersama. Walau tak semuanya dapat dilakukan bersama.

Setelah jam menunjukkan pukul tujuh tepat semua siswa kelas tiga sudah berada dalam kelasnya masing-masing tanpa wali kelas mereka. Semua lap top yang mereka bawa dikeluarkan dan diletakkan di atas meja dan melihat bersama-sama. Tidak ada keegoisan yang menuntut salah seorang siswa untuk memperhatikan dimanakah letak peringkatnya. Semua memperhatikan tulisan lulus dan tidak lulus. Setelah semua di lihat dan diteliti bersama ternyata semua siswa di SMA ku dinyatakan lulus semua.

Semua bergembira melihat informasi yang telah dilihat bersama-sama. Mereka semua bersyukur akan berita yang menggembirakan itu. Mayoritas yang beragama Islam ada beberapa yang berlari ke musholla sekolah untuk dapat melakukan sujud syukur setelah mengambil air wudlu terlebih dahulu. Ada pula yang sempat melakukan shalat dhuha bersama-sama. Bagi yang beragama Kristen mereka semua mengucap “Puji Tuhan” dan berdoa dengan cara mereka masing-masing. Bagi yang beragama Hindu ataupun Budha mereka pun berdoa dengan cara mereka masing-masing.

Semua saling berpelukan, melompat kegirangan, cipika-cipiki bagi yang perempuan dan setelah itu langsung pergi ke ruang guru bersalaman dan mengucapkan segala permintaan maaf atas semua kesalahan yang mungkin telah mereka perbuat dengan menangis tersedu-sedu bagi yang tak dapat menahan haru. Para guru turut bersuka atas kegembiraan semua muridnya yang ternyata lulus semua.

Setelah itu barulah semua siswa berpesta ke lapangan sekolah yang di kelilingi oleh kelas-kelas dan berbagai macam ruangan yang membentuk bangun persegi jika dilihat dari atas. Semua spidol dan juga pilox yang mereka bawa sengaja sebagai persiapan untuk berpesta di keluarkan dan mulai menyemprotkan kepada sesame siswa kelas tiga. Ada yang hanya duduk atau berdiri dan bercerita kegembiraannya di koridor depan kelas masing-masing atau tertawa memperhatikan kegilaan siswa yang berada di tengah lapangan.

Semua adik-adik kelas memilih keluar kelas untuk memperhatikan bagaimana ekspresi kegembiaraan kakak kelas mereka yang nantinya akan mereka alami pula. Mereka turut tersenyum bahagia dan tak jarang pula mereka tertawa dengan kegilaan yang sebentar-sebentar terjadi di antara kerumunan siswa yang tengah bahagia. Satu yang aku salut dengan kekompakan siswa angkatanku saat ini. Mereka semua kompak untuk tidak melakukan pawai mengelilingi kota karena khawatir akan terjadi sesuatu hal yang tak pernah di diinginkan mereka semua.

Ada seorang siswi kelas tiga yang menjadi perhatianku saat ini. Ia berada di lapangan bersama kami semua tapi dengan wajah tertekuk dan menunduk lunglai memperhatikan jalannya yang ingin keluar dari keramain yang tadi sedikit dia pun merasakannya. Ku datangi dia dank u raih tangannya. “ mau ke mana? Ayolah, kita tetap di sini saja bersuka cita bersama-sama.” Dia menatapku kosong, menggelengkan kepalanya dan kemudian tersenyum kecil kepada ku.

“oh, ya sudahlah. Mungkin dia sedang ingin menyendiri saat ini” fikir ku dalam hati. Ku pandangi dia yang berjalan membelakangiku untuk mencapai kelas dan mungkin ingin menyendiri di sana untuk menenangkan hatinya. Ku pandangi hingga hilang dia memasuki kelasnya yang juga merupakan kelas ku.

Aku terdiam begitu tidak lagi melihatnya setelah badannya berada di balik tembok kelas yang tengah ku pandangi kini. Sekarang aku jadi teringat akan apa yang telah ia ceritakan kepadaku sehari setelah ujian nasional itu selesai kami laksanakan. Aku pun turut menerawang kosong memandangi dinding kelas dan kemudian menunduk. Berjalan ke arah kursi yang berada di tepi lapangan dan tak jauh dari ku. Aku menggapainya dan terduduk menerawang di sana.

*

Kala itu ia tengah berada sendiri dan merenung kosong dalam kelas. Di waktu yang tak seharusnya ia berada di sana. Siang itu aku akan melaksanakan ekskul bersama teman-teman pecinta alam untuk membimbing para junior mempelajari berbagai macam materi untuk menghadapi keadaan-keadaan yang mungkin saja terjadi atau persiapan dalam menghadapi medan yang belum pernah kami di ketahui oleh para junior yang masih pemula.

Waktu itu aku lupa membawa buku tugas yang tertinggal di dalam laci dan aku pergi ke kelas untuk mengambilnya karena berniat menyelesaikan semua tugas yang telah menumpuk. Begitu aku berada di ambang pintu aku terheran dengan dia yang hanya duduk terdiam menerawang seperti ada beban yang cukup memberatkan di pundaknya. Seharusnya hari itu dia libur karena setelah ujian pelajaran untuk siswa kelas tiga di liburkan selama tiga hari.

Ku datangi dia dan aku duduk di bangku yang berada di depannya dengan menghadapkan badan dan wajah ke arahnya. “Hei, Lara! Mengapa kamu berada di sini. Bukankah seharusnya hari ini kita libur. Seharusnya kamu pergi refreshing dengan teman-teman atau keluarga karena sebentar lagi akan nada ujian sekolah?” begitu langsung tanyaku kepada dia yang dulunya terkenal supel namun sangat tertutup. Karena ketertutupannya itu ada banyak teman yang datang padanya untuk mencurahkan semua permasalahan yang menjadi beban bagi mereka. Kendati demikian Lara tak pernah memberikan saran karena dia pun tidak pernah tahu harus menyarankan apa dan bagaimana tapi dijamin semua rahasia akan tertutup rapat tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya karena sifatnya yang tertutup untuk segala permasalahan yang di hadapainya.

Dia menatapku dengan wajah murungnya. Terlihat pucat pada wajah hitam manisnya. Ku Tanya lagi “apa kau sakit? Mengapa kau begitu pucat? Mengapa badan mu menjadi lebih kurus sekarang?” Tak ada jawaban yang aku dapatkan namun tatapan matanya kini begitu nanar. Seperti menyimpan beribu permasalahan.

Ku beranjak dari kursiku dan berpindah untuk dapat duduk tepat di sampingnya. “jangan kau sembunyikan masalah mu! Kau akan sakit dengan sikap tertutupmu. Ada yang harus kau tutupi tapi ada pula yang seharusnya tidak kau tutupi karena kamu butuh seseorang untuk dapat berbagi akan semua kisah mu. Jika kau percaya pada ku aku akan tetap disini hingga kau mau menceritakan semuanya pada ku.”

Kini linangan air mata itu masih penuh di pelupuk matanya dan belum tumpah. Dia melihatku dan menangis sejadi-jadinya dalam pelukanku. Ku peluk ia erat agar ia dapat merasakan tenang yang mungkin sebentar akan mendamaikan. “aku ingin kuliah Dara. Tapi orang tuaku menentangnya. Aku tahu mereka mampu untuk membiayai kuliahku tapi mereka bersi keras untuk menikahkanku. Apa yang bisa ku perbuat saat ini Dara? Sulit bagiku untuk melaksanakan apa yang menjadi keinginan mereka. Aku tak bisa berbuat apa-apa Dara.” Miris sekali kata-kata itu terlontar dalam telingaku. Menggetarkan tubuhku dan membuatkan merinding haru. Tangisnya meledak-ledak dalam pelukku dan air mataku pun leleh deras membasahi pipi ku. Ku biarkan air matanya tumpah hingga tak lagi ku dengar suara isak tangis yang terlalu menderu agar ia merasa lebih tenang.

“tak pernahkah kau mencoba untuk mengatakan segalanya. Bisa juga kau berkata pernikahan dapat dilangsungkan nanti saat kamu telah selesai dengan semua studimu. Jangan menyerah dulu kawan ku. Hidupmu tak akan berakhir disini. Masih ada banyak hal yang dapat kamu lakukan untuk menentang kehendak orang tuamu.” Saranku singkat namun rumit bagiku.

“tak semudah yang kau bayangkan Dara. Orang tua ku sangatlah keras kepala dan tak bisa mengerti semua hal akan anaknya. Sudah berkali-kali aku merundingkannya namun mereka tak juga mau mengerti aku. Terima kasih Dara kau sudah membuatku merasa lebih ringan sekarang namun keinginan orang tua ku tidak akan bisa untuk di tentang.” Begitulah singkatnya dia menanggapi apa yang aku katakan.

Aku tahu bagaimana orang tuanya Lara dan aku tahu bagaimana seseorang yang akan menikahi Lara. Orang tua Lara sungguh berkecukupan untuk membiayai kuliah Lara namun mereka adalah orang tua yang masih berada dalam pemikiran orang-orang terbelakang. Masihlah sangat kuno cara fikir mereka.

Sedang orang yang akan menikahi Lara adalah seorang juragan kaya yang akan menjamin kehidupan seluruh keluarganya jika kedua orang tua Lara berhasil memaksa Lara untuk menikah dengannya. Dia adalah seseorang yang sudah memiliki tiga orang istri dan enam orang anak dari istri-istrinya. Tidak tahu dengan istri gelap yang belum pernah diketahui oleh ketiga orang istrinya. “Sungguh lelaki mata keranjang. Jelas saja Lara bersi keras menentang keinginan orang tuanya.” fikirku.

Sekali-kali pernah aku mendengar percekcokan antara Lara dan kedua orang tuanya saat aku berkunjung ke rumah Lara.

“Dia akan meminangmu setelah pengumuman kelulusanmu nanti. Bagaimana pun hasil dari ujianmu kamu harus menikah dengannya. Tidak ada kata tidak.” Kata ayahnya

“Aku tidak ingin menikah secepat ini Bapak. Aku masih ingin kuliah jika tidak aku masih ingin bekerja. Aku pun tak ingin menikah dengan orang mata keranjang seperti dia Bapak. Seharusnya Bapak mengerti ingin ku. Jangan terus paksa aku untuk menikah dengannya Bapak. Masa depan ku tak sependek itu Bapak.” Ia menentang dengan air mata bertetesan. Ku mengerti tangisannya karena isak tangisnya yang begitu miris dalam jiwa.

“Jangan berfikir bodoh kamu. Masa depanmu akan sangat baik jika kamu mau menikah dengannya. Dia adalah seorang juragan kaya yang akan menjamin seluruh kehidupan kita. Jangan pernah membantah atau Bapak akan bersikap keras pada mu.” Ngotot Bapak itu seperti akan memasukkan anaknya dalam mulutnya. Begitu keras hingga aku dapat merasakan kegalauan hati Lara.

“Terserah Bapak mau bagaimana yang jelas aku tidak ingin menikah dengannya. Aku masih ingin melakukan banyak hal. Bukan sebagai ibu rumah tangga yang akan menyesali segalanya. Batalkan pernikahan ini atau aku akan bunuh diri.”katanya membela diri.

“Lara! Tutup mulut mu! Seharusnya kau tahu keinginan Bapak, Lara. Bapak dan Ibu ingin kamu bahagia.” Kata ibu menjadi penengah agar tak tumpah semua amarah Bapaknya.

Lara tidak dapat lagi melanjutkan kata-katanya. Dia menunduk, air mata deras membasahi pipi manisnya dan berlari keluar rumah tanpa kata-kata. Aku pun berlari mengejarnya untuk dapat menenangkannya.

“Sudahlah Dara! Jangan coba hibur aku. Aku fikir kamu sudah tahu dengan semuanya. Sudah banyak yang kamu tahu tentang masalahku.” Katanya dalam isak tangisnya. Aku memeluknya dan menenangkannya dengan bersantai di sebuah taman yang jarang pengunjungnya. Begitu sepi tapi itu yang ku cari untuk membuatnya lebih lega. Sedih aku jika mengingat percekcokkan itu. Kata-kata mereka saat itu terpatri kuat dalam memori di otakku. Selalu mengiang di saat malam dan saat aku sedang dalam kesendirian.

*

Khusus hari ini sekolah memberhentikan pelajaran untuk siswa kelas satu dan dua tanpa ada yang mengetahuinya. Pihak sekolah menyetelkan lagu yang bernuansa bahagia agar kita semua dapat berjoged bersama. Semua siswa kelas tiga yang tadinya memilih memperhatikan saja kini telah bergabung bersama kami di dalam lapangan dan berjoged riang kegirangan.

Teman-teman yang melihat ku merenung sendirian di tepi lapangan memanggilku dan mengajakku bergabung dengan mereka. Aku tersenyum riang pada mereka dan berlari ke tengah mereka. Setelah aku berada di tengah-tengah lapangan bersama mereka aku tersenyum riang dan diam. Berputar perlahan memandang ke seluruh ruangan. Di mulai dari ruang guru berputar ke kanan. Kelas satu, kelas dua, dan kemudian kelas tiga hingga di pucuk sendiri aku melihat kelas ku dan terdiam berusaha menerka apa yang sedang dilakukan oleh Lara di dalam ruang kelas di sana.

“Mungkin sedang menekuk wajahnya dan dia sedang ingin menyendiri saat ini.” Ku lihat di jendela kaca yang agak tinggi. Kira-kira tingginya dua meter dari lantai koridor. Ku lihat sekilas dan kemudian aku berbalik dengan teman-teman.

Namun aku tersentak seperti ada yang tak beres dengan apa yang ku lihat dari jendela kaca ruang kelas tadi. Aku berbalik cepat dengan tersentak untuk dapat memandang kembali ke jendela kaca ruang kelas ku. Kini aku berlari kencang menggapai ruang kelas dengan sesekali terjatuh dan tak peduli dengan luka dan darah yang mengalir di lututku.

Aku menggapai daun pintu kelas dan mendobraknya paksa. Aku menjerit histeris dengan apa yang aku lihat jelas sejelas-jelasnya dengan kedua mataku. Aku menjerit dan menangis histeris membuat semua yang berada di lapangan dan semua yang berada di sekolah berlari berbondong-bondong kearah ku.

Mereka yang rata-rata wanita menjerit histeris pula dan menangis seperti yang aku lakukan. Dia, Lara yang pernah menjadi bagian dari kehidupan semua siswa di SMA kini tidak ada dalam ruangan. Tidak ada dalam kehidupan. Namun tergantung dengan tampar melilit lehernya dengan kematian.

Tak ada yang pernah menyangka dengan terjadinya hal ini. Para lelaki yang berani datang dan melepaskan Lara dari ikatan kematiannya. Meletakkannya di lantai dalam keadaan lunglai dan tubuh pucat agak membiru. Ku gapai jenazahnya dan ku peluk dia. Aku menangis dan terus menangis hingga mereka membawa Lara ke Rumah Sakit setelah sebelumnya memanggil Polisi untuk melakukan evakuasi.

Setelah mereka membawa Lara ke Rumah Sakit aku berlari untuk menuju ke rumah Lara. Aku temui kedua orangtuanya yang kebetulan sang juragan pun berada di sana menanti kedatangan Lara untuk segera meminangnya. Mereka para warga yang tengah menanti perayaannya pun terheran dengan langkah lebarku dan menepi seolah member jalan agar aku dapat mengatakan semua hal pada kedua orangtuanya. Setelah aku berada di hadapan mereka aku terdiam, mengambil nafas dan menatap tajam satu-satu pada wajah mereka bertiga.

“Sudah terlambat jika aku mengatakannya sekarang. Dulu Lara pernah menceritakannya kepadaku. Tentang banyak hal yang harusnya dia jalani setelah kelulusan ini. Dia ingin pergi untuk melanjutkan studi. Dia ingin pergi untuk lebih banyak lagi mempelajari dan mengerti. Tapi kini dia pun telah pergi. Pergi ke hadapan Ilahi. Sungguh picik fikiran kalian. Sungguh busuk materi yang kalian incar. Sungguh kalian akan menyesal.” Kataku menatap tajam pada kedua orangtuanya.

“dan kau jika aku bisa aku seharusnya membunuhmu. Tapi aku tidak boleh melakukan itu. Karena aku tahu bahwa ada banyak anak bini mu yang masih memerlukanmu. Sungguh tak sampai hati aku mengatakan semua ini. Tapi kamu sekali-kali harus mengerti. Tapi mengapa harus melalui Lara. Lara yang memiliki banyak harapan. Lara yang masih memiliki begitu luas bentangan harapan. Tapi kini dia harus menghadapi kemetian. Kematian yang sungguh tak wajar.” Ku katakan dengan terus menatap tajam pada orang mata keranjang.

Ku pandang kedua orang tua Lara yang kini mukanya mulai memerah padam seakan aku sedang bercanda dan tak mengerti akan kebenarannya. Ayah Lara menatap tajam pada ku. Keras sekali dia menamparku dan ibunya menampar di lain sisi pada pipi ku. Aku tersenyum.

“lanjutkan, teruskan hingga kalian merasa puas dengan terus meghajarku. Sekali pun aku tak akan membalas tamparanmu. Karena aku tahu setelah kalian tahu kalian akan memukuli jiwa dalam diri kalian sendiri.” Kataku menantang mereka.

Setelah aku berkata mobil ambulance datang membawa jenazah Lara dengan semua siswa membuntuti di belakangnya. Setelah jenazah Lara di keluarkan dari mobil ambulance dan di letakkan tepat di hadapan kedua orang tuanya mereka berhambur memeluk Lara dan ku lihat nanar pada wajah orang yang akan meminangnya.

Senin, 10 Januari 2011

Untuk Sahabat

kini ku sadari
betapa egoisnya diri ini
tak mampu memahami hati
yang selalu dalam bimbang diri

ku menangis akan hal itu
tak seharusnya ku berusaha melupakanmu
baik baiklah sahabat ku
aku kan selalu bersama mu
walau itu hanya lewat doa ku

tak seharusnya ku lukai kalian
dengan mengucapkan tak ada persahabatan
walau dalam hati sungguh menyakitkan

percayalah sobat
hati ku kan terikat
dengan semua yang kau buat
agar aku dapat berbuat

kan ku jaga kamu dengan doa ku
ingin aku bisa bertemu dengan mu
dan membiarkan mu menangis dalam peluk ku
sayang ku untuk mu

buat sahabat semoga kau kuat
kuat dan tegarlah
inilah hidup
bukan seperti apa yang kau lihat dahulu
inilah kehidupan
di sela gurauan kan ada tangisan

Minggu, 09 Januari 2011

"Kuat Namun Lemah"

ku tatap tajam diri mu
yang terlihat kuat
namun sangatlah lemah
dan bahkan lebih lemah dari seekor laron
yang hanya datang tuk satu malam
terbang pun dia tak akan lama
bertahan pun tak nampak bisa
kini aku marah pada kau
terlalu banyak membual
hingga membuat ku cukup mual
ingin ku hajar tubuh lemah mu
namun aku tak pernah mampu
untuk melakukan itu
karena sosok mu pernahlah penting bagi ku
mungkin hingga kini
saat aku merasakan marah di puncak ubun ku
slalu ku rasakan tangismu
namun kau hanya tertawa di atas sedih ku
aku relakan itu
tak penting lagi bagi ku
karena aku tahu
dan sungguh tahu
bahwa kau begitu rapuh tuk saat ini
tenanglah......
rasa ini tetap ku jaga
hingga ku tahu kapan kau akan kembali
taukah menyesali

"Bisu"

kini kurasakan
dan benar aku merasakan

entah rasa apa itu
aku pun tak tahu
dan selalu dalam banyak pertanyaan untuk tahu
tak satu pun dari mereka yang menjawab tanya ku
"mengapa kalian hanya bisa membisu?"
"tak tahukah kalian betapa sebenarnya hati ku?"
pilu dan sangatlah pilu
tak bisakah kalian melihat tetes air mata ku
seberapa lama kalian menghendaki itu
ku tutup wajah ku
dengan ke dua telapak tanganku
cucuran air mata ini
semakin deras dan parah
tak mampu aku menghalau linangan ini

muak aku dengan kalian
tak mengerti aku akan dinginnya kalian
bahagiakah kalian
membuatku terlalu lama dalam jeratan
tidakkah ini yang kalian inginkan
betapa ini sangat menyakitkan
ku rasakan sedikit kebahagiaan
namun kemudian
kalian hapuskan dan lenyapkan
adakah aku dalam banyak kesalahan
mengapa begitukah sikap kalian?
ah................
begitu keras jeritku
lepas aku
jangan terus kalian jerat aku
sakit jerat itu
menggores tiap kulit ku
semakin berontak aku
dalam jeratan kaku
sakit tubuhku
perih akan setiap luka ku
tak ku peduli akan itu
jawab pertanyaanku

"BISU"

mengapa hanya membisu?......

menjadi dan sejadi-jadinya tangis ku
kini lepas aku
dari segala belenggu

" Tak Bebas dan Ingin Lepas"

bukan salah ku
jangan kau terus menuduh ku
haruskah aku diam dan membisu
dan mengakui semua yang bukan salah ku
haruskah lagi aku
menuruti semua ingin mu
dan menjadi kambing hitam atas perbuatan mu
haruskah kini aku lepas dari mu
melepas semua cengkraman maut mu
yang bilang kan mencintaiku
namun perlahan ingin membunuh ku
apakah aku masih harus berkorban
bukan lagi sebagai santapan
tapi berkorban untuk kebebasan
kebebasan tak terikatkan
tak lagi dengan mu
karena kamu selalu menikamku
dengan berbagai macam cara mu
puaskah diri mu
tau haruskah mati ku
membahagiakanmu
tak akan
dan tak akan

Sabtu, 08 Januari 2011

Belenggu dalam Segenap Rasa

“Belenggu dalam Segenap Rasa”
Seperti biasanya, di sebuah kebun di belakang rumah aku berputar-putar, bernyanyi dan menari. Memberitahu pada segenap binatang dan tumbuhan akan kebahagiaan yang ku rasakan. Merasakan kebahagiaan yang begitu hebatnya. Menampakkan betapa anggunnya diri ini kala itu. Menampakkan betapa menariknya diri ini kala itu.
Aku menari dan terus bernyanyi. Sejenak aku berhenti merentangkan kedua tangan dan menikmati udara segar di pagi hari. Menikmati kedinginan musim kemarau di pagi hari. Bersama tebalnya embun pagi yang tipis membasahi wajahku. Membuatku merasakan kelembutan sentuhan alam saat menyapaku dalam cinta. Membuatku merasakan kesungguhan hati dalam ketulusan jiwa.
Aku melangkah dan terus melangkah. Ingin ku capai sebuah gubuk di sudut kebun dengan beberapa pohon menghiasi dan menambahkan keteduhanya. Merasakan dingin yang membawa kesegaran dan menjadikan teduh pada penikmatnya.
Aku melangkah dan melangkah dengan bahagia berusaha mencapai gubuk sang peneduh jiwa. Memberikan aroma khas dedaunan pembentuknya. Ku pandang sebelah sisi gubuk itu. Begitu nyaman ku rasakan walau diri tak sampai dalam lindungan.
Kini aku berlari untuk mencapainya. Berusaha bersama kebahagiaan hati untuk mencurahkan segalanya. Ladang dan kebun belakang rumah ini begitu luas pula ternyata. Lumayan lelah namun tak kan mampu menghalangi ingin ku. “oh…. Sampai pula ternyata”. Dengan jarak kira-kira perlu melangkah lima langkah lagi aku berkata demikian.
Tetapi aku terkejut, terhenti dari langkah dan tercekat dengan apa yang telah ku lihat. Seorang pria tengah berdiri, bersandar pada sebuah tiang yang membantu tegak berdirinya gubuk dengan kaki kanan berada di depan kaki kiri dengan ujung sepatu menyentuh pada tanah. Begitu tampan dan menarik hingga membuat ku berbalik dan tak berani melirik.
Tak berani aku untuk memandang kembali pada sang pria. Aku terdiam dan berfikir “oh… mengapa dia berada di situ…? Bagaimana ini? Sikap ku tadi pasti sangat memalukan. Oh… malunya aku”. Jantungku berdegup begitu kencang seperti hendak berlari saja untuk meninggalkan sang pemilik jantung. Hati dan fikir ku menjerit ketika merasakan bahwa ia berada di belakangku dengan jarak yang begitu dekat saat ini. Membuat aliran darahku berdesir memanaskan seluruh tubuh. Ternganga aku dikejutkan olehnya kala lengannya kurasakan menyentuh pundakku.
“ahhhhh” Jerit ku dalam hati semakin kencang dan nyaring. Menggigil aku dibuatnya. Bergetar kencang seluruh tubuh karenanya. Keringatku mengalir begitu derasnya bak telah selesai mandi dalam sebuah telaga. Dalam diri ini ingin sekali berlari dan pergi menghindari rasa yang begitu buruk tetapi indah katanya. Namun kakiku terasa berat untuk di langkahkan. Hati dan fikirku sangat berjauhan. Tak ada keterpautan antara hati, fikir dan gerak pada tubuh ini. Lemas aku dibuatnya.
“oh…. Apa lagi ini? Mengapa harus ia berada di depanku saat ini” dengan tetap berkata dalam hati. Sang pria melangkah untuk dapat memandang wajahku yang tengah pilu. Ia meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat, dan menatap tajam pada kedua mataku. Ingin ku pejamkan mata ku namun hati tetaplah tak mau. Kini tangannya menyentuh pipiku dalam rona yang tengah malu. Geli ku rasakan pada wajah hingga leher ku dan ku sentuhkan pipi ku pada lengannya hingga dengan memiringkan kepalaku hingga geli itu tak lagi terasa.
Aku berkata, “mimpikah aku saat ini?” dalam raga penuh kesadaran namun jiwa entah merasakan. Ku raih tangannya yang menyentuh pipi ku dan ia meremasnya. Namun tak ada sakit yang terasa.
“tak ada mimpi di siang bolong. Mengapa kau hentikan nyanyian dan tarianmu padahal aku selalu mengamatimu. Dari tiap langkah, gerakan, dan senyuman yang terukir indah pada wajah mungilmu. Kemanakah akan kau langkahkan kakimu jika lima langkah lagi kau akan menemui sang pujaan hati yang ada dalam fikiranmu.” Katanya menyadarkanku.
Malunya aku begitu merasakan dan tersadarkan bahwa ini adalah kenyataan. Aku berusaha untuk pergi melewatinya dan berlari namun langkahnya terus menghalangiku. “ mau pergi kemana lagi kau? Tak ada satu ucap pun dari bibir mu atas semua perkataanku. Bahkan aku tak mengerti bagaimana sebenarnya hatimu pada ku. Mengapa selalu saja kau menghindar dari ku dan berlari jauh ketika kau melihat adanya diri ku. Adakah kesalahan pada semua tingkah laku ku yang membuat mu selalu saja menjauh dari ku. Bahkan aku pun tak pernah bisa mengatakan bagaimana sesungguhnya aku menyayangi mu. Haruskah aku diam dan tak melakukan apa pun jika aku ingin kau tahu akan semua rasa ini.” Katanya mengejutkanku.
Aku mendangakkan kepala ku dan terheran dengan semuanya. Ku tatap tajam mata itu. Mata yang pemiliknya telah mengatakan sesuatu yang begitu dahsyat bagi ku. “ saat ini apa yang bisa ku lakukan jika semua yang kau katakan itu hanyalah dusta. Dusta yang pada akhirnya hanyalah kan mencampakan segalanya. Membuatku tersungkur jauh dalam lubang kebinasaan. Haruskah pula aku menangis di setiap malamnya hanya karena semua hal yang akhirnya kan menyakitkan ku. Tak pernah aku ketahui mengapa aku selalu saja menghindar di kala melihat walau hanya sekilas diri mu. Aku takut akan rasa yang kan membuat ku terlihat bodoh seperti saat ini. Mengapa kau harus muncul di tempat yang sangat aku sukai? Harus bagaimana aku saat ini jika lari pun aku tak sanggup lagi.” Jawabku mengungkapkan segala emosi.
“tak puas aku dengan semua jawabanmu. Tak dapat aku mengerti semua perkataanmu. Tak ada niatan dalam hati ku untuk mendusta pada diri ku sendiri. Tak ada niatan dalam diri untuk membuat mu bersedih. Ingin aku menggenggam tangan mu di kala semua kekejaman berusaha menyakitimu. Ingin aku terus melindungi mu dan menjadi pangeran dalam hati mu. Tak sadarkah engkau dengan semua itu. Aku menyayangi mu dan sungguh menyayangimu. Kali ini ku telah mengatakannya dan merasa lega. Aku tahu pasti dalam hati mu pun begitu”. Aku menunduk berusaha untuk menyembunyikan rona merah malu pada wajah ku. “sok tahu” ujar ku.
“tak perlu kau sembunyikan itu jika memang itu yang ada dalam segenap hati mu. Mengapa kau tak lagi berani menengadahkan kepala mu dan menatap tajam pada mata ku seperti tadi di kala kau meluapkan semua emosi yang telah lama terbelenggu dalam diri mu.” Katanya yang berusaha memojokkan ku.
Air mata itu tertumpahkan sedari aku menunduk karena semua perkataan.Tangannya menyentuh dagu ku dan berusaha untuk memandang wajah ku. Ku pejamkan mata ku karena tak ingin lagi aku merasa malu atas tangis ku. Ia memandang dan mengamati tiap sisi pada wajah ku. Mengagumi indahnya wajah yang terlalu lama berada dalam sendu.
Ia menyeka air mata yang telah membasahi pipi. Ia mengusap dengan perlahan merasakan kenikmatan pada kehalusan. Kedua tangannya tetap melekat pada pipi ku lama dan membuat ku lelah dalam lama pejaman mata. Ku buka ke dua mata ku dan ku dapati wajah itu sangat dekat dengan wajah ku. Jantungku berpacu seperti hendak berhamburan. Terdiam aku dan tercekat, menelan ludah dalam tenggorokanku. Aku terkejut dan terus saja mata ini berkedip tak karuan karena perasaan. Ia terus menatap tajam dan terus membuat ku berada dalam ketidakwajaran kare aku merasakan malu yang sungguh menyesakkan. Setelah puas ia membuat perasaan ini tak karuan ia tertawa halus dan memeluk tubuh ku erat. Tak dapat aku menolaknya karena aku pun tak sadar akannya.

Hilang dan Kembali

Hilang dan Kembali
karya : Rosa Pamela Fatimah

Mengawali pagi indah dengan menyunggingkan senyuman. Begitu gorden rumah terbuka karena hembusan angin semilir dari balik jendela kamar terbuka yang menyapu lembut wajahku dan membelai helaian rambut hitam halus ku seolah menyadarkanku untuk segera memulai aktivitas.
Merupakan suatu kebiasaan buruk bagiku karena selalu membiarkan jendela kamarku terbuka setelah semalaman memandangi atap hitam megah yang tertempelkan bintang dan rembulan sebagai penyempurna keindahannya. Aku tidak ingin merugi karena tidak bisa mendapati bintang jatuh di malam hari. Semakin malam waktu menunjukkan akan lebih banyak lagi aku mendapati meteor-meteor itu jatuh laksana sebuah bintang yang sedang jatuh. Kebanyakan orang awam tak mengerti bahwa itu adalah meteor dan menyebutnya dengan bintang jatuh. Setelah sinar mata ini mulai meredup kurasakan, aku langsung menutup gorden jendela dan membaringkan tubuhku di atas kasur dengan tidak karuan.
Sebenarnya hari ini adalah hari libur namun untuk pekerjaan yang rutin harus di kerjakan di rumah tidak boleh turut diliburkan pula. Satu per satu pekerjaan itu ku lakukan dengan semangat dan ternyata aku membersihkannya lebih cepat dari hari-hari biasanya. Setelah mengerjakan semua tugas bersih membersihkan termasuk juga dengan membersihkan diriku sendiri tentunya, aku pergi ke sebuah pondok pesantren tempat di mana kakak ku menimba ilmu.
Pekerjaan ini pun sudah menjadi rutinitas di setiap pagi ku untuk menjenguknya di pondok pesantren. Hal yang sungguh sangat tidak biasa karena biasanya para keluarga dari seorang santri pasti melakukannya setiap satu minggu sekali atau setiap sebulan sekali. Tapi tak apalah fikirku, karena aku memang selalu khawatir dengan sifat kekanak-kanakannya yang akan membuat para santri lainnya terganggu. Lebih sering pula mereka yang mengganggu kakak ku telebih dahulu. Sifat kakak ku memang sangat kekanakan tapi memang dia berbeda dengan anak-anak lain yang memiliki kesempurnaan untuk berfikir.
Aku mengunjunginya dengan mengendarai sebuah motor. Di sepanjang perjalanan aku terus bernyanyi untuk membuat ku merasa begitu tenteram sambil menikmati hijaunya tanaman-tanaman yang terhampar begitu luas dalam berpetak-petak sawah. Membuat setiap pemandangnya merasakan kesegaran yang sangat menenangkan.
Sudah dapat ku pastikan, kalau setelah aku memarkir sepeda motor yang aku bawa dia akan menghampiriku dengan berbagai macam keluhan atas perbuatan santri lainnya yang tidak mengenakkan dan pasti akan membuatnya menangis. Sungguh menyebalkan para teman santrinya karena mereka terlalu sering membuat kakakku menangis.
Aku suruh kakak ku menjelaskan apa yang terjadi. Jika temannya berbuat seperti itu karena ulah kakak ku sendiri pasti aku akan memberinya pengertian dan menambahkan uang jajan agar ia tersenyum simpul. Itupun sebagai perjanjian agar dia tidak akan berbuat ulah lagi. Namun bila ia menangis karena memang ulah temannya yang melewati batas langsung saja aku menghadap muka temannya dan akan ku beri tau betapa kejamnya aku. Jangan sampai air mata kakak ku jatuh lagi karena tingkahnya atau aku tak segan untuk melakukan sesuatu.
Aku sangat menyukai adegan itu. Di saat aku memberi pengertian dan mengancamnya karena pasti setelah itu ia akan berbuat manis pada kakak ku. Tidak peduli itu karena ia takut padaku atau karena ia sadar atas apa yang telah ia lakukan pada kakakku. Semua santri mengenalku karena sikapku yang ini bahkan pengasuh atau Ustadzah mereka pun mengenal ku. Semua karena aku pasti melaporkannya pada pengasuh-pengasuh itu jika memang ulah mereka melewati batas. Tentu saja mereka akan di beri hukuman untuk melakukan banyak hal.
Selesai dengan tugas yang ini aku pun langsung pergi dengan mengendarai sepeda yang ku bawa tadi. Melewati lorong-lorong dengan kecepatan yang sungguh sangat pelan karena aku masih ingin menyegarkan otakku setelah terkotori dengan amarah di pondok pesantren tadi.
Di sepanjang perjalanan aku mengamati bagaimana sorot mata orang-orang yang bersalipan denganku. Buat ku tidak ada yang menarik dari tatapan mata mereka sampai pada akhirnya aku menemukan sebuah sorotan mata tajam seorang pria pada ku yang bisa membuatku gentar namun membuatku penasaran. Tak pernah aku gentar dengan hal semacam ini.
Tatap mata itu bagaikan tatapan mata seorang polisi yang memandangku seakan aku ini adalah seorang buronan yang melarikan diri dari dalam ruangan berjeruji besi. Aku benci karena ternyata tatapan itu saat ini berubah menjadi pandangan sinis mengucilkan karena di selingi oleh terangkatnya bibir sebelah kiri seolah-olah dia sangat membenciku dsn sudh sangat mengenalku. Tanpa pikir panjang langsung saja aku berhenti dari sepeda motor yang ku kendarai dan menghampirinya yang tengah duduk di atas rerumputan yang terhampar luas di pinggiran jalan raya.
“heh, lepaskan pandanganmu itu dari ku atau aku akan menghajarmu! Lepaskan juga senyum sinis itu yang berusaha mengucilkan ku!” begitu sentakku.
Begitu dia mendengar kata-kataku dia langsung berdiri. “kau kira kau itu siapa? Hanya seorang wanita lemah yang sedang berusaha untuk masuk ke dalam kandang macan yang sedang kelaparan. GR kau. Siapa yang memandangmu? Aku tidak sedang memandang siapa pun kalau kau tahu.”
“lancang benar mulut mu. Beraninya mengatakan bahwa aku ini adalah wanita lemah. Meminta maaf padaku atau aku akan memukulmu!”
“kau kira kau siapa? Tak perlu pula aku meminta maaf pada mu. Lakukan saja kalau kau berani.” Begitu jawabnya sambil ia memperhatikan tanganku yang mulai terkepal dan senyum sinisnya itu kembali lagi ia sunggingkan.
“Ohhh, sungguh orang ini ingin membuat ku mencapai klimaks amarahku.” Begitu fikirku. Tanpa fikir panjang ku raih krah bajunya dan mengepalkan tanganku ke arah mukanya dengan dg jarak yang hanya beberapa senti. Tidak ku sangka ia akan tersenyum begitu manis setelah aku melakukan itu.
“uh, menyebalkan” umpatku padanya dan mengurungkan kepalan tanganku mendarat ke wajahnya sambil melumat-lumatkan tanganku karena geregeratan. Langsung saja aku pergi meninggalkannya dan meraih sepeda motor dan mengendarainya dengan sangat cepat. Aku menyetir sambil terus menggerutu “apa maksudnya, setelah ia tersenyum sinis padaku dan membuatku merasa risih dengan pandangannya belum lagi dia mengatakan bahwa aku hanyalah wanita lemah dan lagi-lagi di saat aku akan menghantamkan kepalan tanganku ke wajahnya ia tersenyum begitu manisnya.”
“oh, kau kira kau begitu tampan apa? Beraninya tersenyum sinis seperti itu padaku. Mengapa tadi aku mengurungkan niatku untuk menonjoknya ya? Uh, kalau saja aku memukul wajahnya tadi pasti mukanya sudah hancur.” Aku menggerutu sendiri seakan-akan dia masih berada di hadapanku.
Begitu aku sadar bahwa aku sedang mengendarai sepeda dengan kecepatan tinggi aku pun langsung mengurangi kecepatannya dan kembali dengan kecepatan normal seperti sebelum aku bertemu dengan manusia itu. Karena perbuatanku itu, aku pun menjadi tersenyum-senyum sendiri. aku berfikir “mengapa harus aku mencaci maki dirinya? Tapi tak apalah, dia begitu menyebalkan. Sebenarnya dia lumayan ya. Ketajaman sorot matanya membuat ku sulit untuk melupakannya. Seakan-akan itu adalah sesuatu yang bisa menyulut gejolak dalam hatiku. Senyum manisnya, oh, ssungguh gemas aku dengannya. Huhhhh, sudah lupakan saja lagi pula semuanya tidak akan berlanjut. Cukup sampai di sini saja, untuk bisa bertemu atau tidak di hari kemudiannya pun belum tahu pasti. Biarlah jadi pengalaman mengejamkan bagiku kepada orang lain hari ini. “Hahahaha, jahat benar aku.”
Begitu akan memasuki halaman rumah ada dua sepeda motor terparkir di sana. Satu adalah sepeda motor matic berwarna putih dan yang satu lagi sepeda motor cowok berwarna merah dengan goresan – goresan cat berwarna hitam. Ahhh, aku sangat mengenali sepeda motor matic putih itu yang merupakan sepeda motor milik teman Ibu ku. aku pun dengan riang memasuki halaman rumah dan memarkirnya.
Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang sungguh amat senang karena aku sudah sangat dekat dengannya sudah seperti ibu ke dua bagiku dan dia pun sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri. Aku langsung menghampirinya, memeluknya, dan mencium pipinya. “ wah, kebetulan Tante ke sini aku kan ingin pergi jalan-jalan dengan tante, dengan ibu juga. Nyari udara segar di daerah pegunungan gitu te, biar adem. Heee” ujar ku mengajaknya pergi.
Aku tidak ingin mengatakan apa yang telah terjadi pondok pesantren pada ibu. Khawatir akan memancing emosinya. Kalau emosinya sudah terpancing biasanya amarahnya sungguh menakutkan. Heee. “Kakak baik-baik aja kok di pondok. Tadi adek nambahin uang jajan buat Kak Reyta soalnya tadi agak sedikit ngalem ke adek” begitu ujar ku pada ibu dan dalam keluarga aku sudah terbiasa di panggil adek.
Sepintas aku langsung teringat kalau di halaman masih ada satu sepeda motor yang tak di ketahui dimana pemiliknya. “Tante dengan siapa? Mengapa di depan ada satu sepeda motor lagi?” tanya ku pada tante Ratna. Ya, itu namanya, Ratna.
“ohhh, itu Leo. Semalam dia baru datang dan paginya langsung mengajak kemari. Bilangnya kangen skeluarga di sini. Apalagi denganmu.” Begitu tutur tante Ratna.
“Ohhh ya! Lalu sekarang dia di mana?” tanyaku pada tante Ratna kegirangan dan sedikit terkejut karena aku tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa dia akan kembali lagi ke Jawa setelah sekolahnya selesai di Kalimantan.
“Dia ada di halaman belakang. Dia rindu dengan tempat itu, rindu dengan kenangan-kenangan masa kecil bersamamu. Begitu katanya. Dasar anak muda ya??” tante Ratna berkata seperti itu sambil tertawa bersama ibu. Aku pun langsung berjalan dengan agak canggung ke halaman karena aku khawatir dengan perasaan ku sindiri. Sebenarnya tubuh ku sedang bergetar begitu aku berusaha melangkahkan kaki ku ke halaman belakang. linangan air mata sudah menggenangi mata ku.
Leo adalah teman masa kecil ku yang terpisah karena dia harus pergi bersama kedua orang tuanya keluar provinsi. Di Kalimantan tengah tepatnya yang merupakan kampung halaman dari ayahnya. Dia tidak pernah menyutujui hal itu tetapi kedua orang tuanya memaksa karena tidak ada yang dapat mengurusnya di Jawa. Kedua orang tuaku sebenarnya berkenan untuk dapat mengurusnya karena dia sudah terlalu akrab denganku.
Namun orang tua Leo bersi keras untuk membawanya pergi karena mereka tidak bisa berlama-lama untuk meninggalkan dia bersama kami. Usia Leo saat itu masih terlalu muda untuk ditinggalkan dan dititipkan kepada orang tuaku. Waktu itu dia berumur 12 tahun sedangkan aku masih berumur sepuluh tahun. Orang tuaku pun tak dapat memaksanya karena semua pasti akan berpengaruh buruk terhadap Leo jika dia terlalu lama tidak merasakan kasih sayang dari orang tuanya. Sungguh pemikiran orang tua yang bijak.
Setelah ia pergi, aku atau pun keluarga ku tak pernah mendengar kabar akan keadaannya di sana. Sepucuk suratpun tak pernah datang untuk memberi kabar. Sedangkan aku, terlalu sering aku mengiminya surat dan tak pernah sekalipun aku menerima balasan darinya. Selalu dan selalu itu yang terjadi. Aku merasakan sedih dan sepi yang teramat sangat. Perlahan-lahan benci itu muncul. Namun, semakin benci itu berhasi menguasai ku semakin besar pula rasa rindu itu menyiksaku.
Lima tahun kemudian aku mendengar kabar bahwa mereka sudah pulang. Ibu yang mengatakannya padaku. Tak peduli dengan apapun aku langsung pergi ke rumahnya dan ibu billang akan menyusul ke kediaman Leo bersama ayah nanti malamnya. Jarak antara rumahku dengan rumahnya hanya dipisahkan oleh beberapa rumah saja, jadi dalam waktu beberapa menit saja aku dapat mencapai rumahnya. Banyak tetangga lain yang datang menyambut mereka saat itu. Dengan segera aku mencapai pintu dan mendapati tante Ratna dan om Jodi sedang bercengkeramah bersama tamu-tamu yang menyambut mereka.
Aku bertanya pada mereka,”di mana Leo tante?”. Tanpa mereka menjawab pertanyaanku aku langsung mencarinya ke dalam rumah dengan gembira dan tergesa-gesa karena aku sangat ingin mengetahui bagaimana keadaannya setelah tiga tahun lamanya tidak berjumpa. Tetapi aku tak mendapati dia di sana. Aku tak mendapati siapapun dengan airmata yang mulai menggenang. “Mungkinkah dia berada di taman” fikirku. Aku langsung berlari melewati ruang tengah dan kemudian menuju ruang tamu.
Tante Ratna memanggilku di saat aku akan menggapai daun pintu untuk menuju taman. Aku menghampirinya dan bertanya,”ada apa tante? Di mana Leo mengapa aku tidak menemukannya di kamarnya? Apa dia berada di taman tante? Oh ya kabar om dan tante pasti baik-baik saja kan di sana! Terlihat jelas dari senyumnya. Aku rindu sekali dengan om, dengan tante juga.” Ucapku hanya sekedar menegur.
Tante Ratna berkata,” rindu dengan siapa?” sedang om Jodi hanya tersenyum kecil. Senyum tante Ratna dan om Jodi yang mengarah padaku hanya membuatku kikuk jadinya. Pipi ku serasa panas dan memerah begitu mendengar kata tante Ratna.
Aku pun mengulangi lagi pertanyaan ku yang belum di jawab oleh mereka,” di mana Leo tante? Di mana Leo om? Mengapa aku tidak menemukannya di mana-mana?”
“kemarilah, duduklah dulu bersama kami!” aku pun menurut pada om Jodi dan duduk di samping tente Ratna. “Leo tidak ikut bersama kami karena dia harus menyelesaikan sekolahnya di sana. Om khawatir dia akan terlalu banyak tertinggal pelajaran jika harus berpindah sekolah karena prosesnya pasti akan membuat banyak waktu yang tersita.” Begitu tutur om Jodi.
Tak terasa mataku telah digenangi air mata. Aku tak sadar saat itu. Di saat air mata itu ku menetes membasahi pipi ku dan membuat ku terisak karenanya. Tak ada yang bisa ku ucapkan saat itu. Aku hanya bisa menangis di pelukan tante Ratna, menangis, dan menangis. Malam itu aku menangis hingga tertidur di sofa rumah om Jodi.
Esoknya aku terbangun dengan mata yang berat dan perih terasa. Aku tersadar bahwa kamar yang ku tempati bukanlah kamarku. Ini adalah kamar Leo. Tapi bagaimana bisa aku berada di kamar Leo. Aku langsung lari keluar dari kamar dan menemui tante Ratna untuk meminta izin pulang tetapi tante Ratna mencegahku.
“Jangan pulang dulu! Tante ingin kamu diam dulu di sini sebentar untuk menemani tante. Kemarin kamu terlalu lama menangis sampai-sampai tertidur di sofa, jadi om Jodi memindahkan kamu ke kamar Leo. Tenang, orang tua mu semalam datang ke sini dan tante Ratna menceritakan apa yang terjadi jadi mereka mengerti keadaan mu dan membiarkan mu menginap di sini.”ujar sang tante.
Setelah kejadian itu aku sering sekali menginap di rumah tante Ratna untuk menemani tante Ratna karena tak jarang pula om Jodi harus pergi ke Kalimantan untuk mengurus pekerjaannya dan mengunjungi Leo untuk beberapa minggu sekali. Aku melakukan banyak hal bersama tante Ratna di saat om Jodi pergi. Sering pula ibu ku turut serta dalam berbagai macam kegiatan yang aku lakukan bersama tante Ratna.
Di saat om jodi tiba di Jawa aku, ibu, ayah, tante Ratna dan om Jodi sering melakukan banyak hal bersama-sama. Aku menyayangi mereka seperti aku menyangi kedua orang tua ku sendiri. Semua berlalu dengan sangat menyenangkan. Mereka melakukannya untuk membuatku tidak merasa sepi dan terlalu murung dengan tidak adanya Leo di sela-sela kebahagiaan kami.
Namun, apapun yang mereka lakukan untuk membuatku tidak terlalu memikirkan Leo sangatlah keliru karena aku tetap ingat dengannya dan tanpa perlu menangis lagi tentunya. Semuanya begitu menyenangkan tetapi terasa begitu hampa ku rasakan karena aku berharap ia akan turut melakukan semua ini bersama kami. Merasakan kebahagiaan bersama kami.
Kini semuanya telah berlalu selama tiga tahun setelah kedatangan om Jodi dan tante Ratna. Aku tiba di halaman belakang dan melihat seseorang berdiri tegap membelakangi ku sedang mengamati taman itu dan terlihat sedang mengenang semua yang telah berlalu di sana. Sesosok pria jangkung dengan perawakan tegap dan badan yang gagah. “diakah Leo saat ini? Diakah leo yang selalu ku nanti? Diakah Leo yang yang pergi tanpa pernah mengabari?” kataku dalam hati.
Aku berlari memeluknya dari belakang. Merasakan pundak yang begitu bidang dan merasakan rindu yang sudah terluapkan. Otot-ototnya terasa pada lenganku yang ku melingkar pada tubuhnya. Sungguh aku tak ingin melepaskan pelukan ini. Aku menangis dan membisu. Tak sanggup aku mengungkapkan apapun. Aku merasakan gerakannya yang menoleh berusaha untuk memandangku.
Dia menggenggam kedua tanganku. Aku merasakan jari-jari yang begitu kuat meremas jari-jari tak elokku dan dengan tetap menggenggam tanganku ia berbalik untuk memandangku. Ia memandangku dan aku hanya tertunduk karena tak berani membalas pandangannya. Aku hanya menangis dan kemudian memeluknya lagi. Sungguh ku merasa sangat nyaman dan aman dalam pelukannya. Aku mulai membuka mulut ku bertanya “ mengapa kau tak pernah menjengukku? Berapa banyak surat yang ku kirim tapi kau tak pernah meresponnya. Apakah itu adil untukku yang selalu tak sanggup membencimu di saat aku tak pernah mendapati sepucuk surat yang datang untuk menjawab semua kegelisahanku? Aku tak bisa lupa sedikitpun dan aku tak bisa benci sedikitpun. Aku tak bisa dan sungguh tak bisa.”
Aku memberanikan diri untuk menatap matanya dan aku terkejut. Sungguh sangat terkejut ketika aku mendapati mata tajam itu adalah milik seseorang yang aku caci tadi pagi. Aku terkejut di saat aku ingat bahwa dia adalah seseorang yang hampir ku tonjok dengan kepalan tangan ku sendiri. Aku melepaskan lingkaran tanganku darinya dan mundur selangkah dengan tetap menatap matanya. Namun di setiap aku mengangkat kakiku untuk mundur selangkah demi selangkah diapun turut melangkahkan kakinya untuk maju selangkah demi selangkah sampai badanku terbentur dengan tembok di belakangku tanpa melepaskan tatapannya padaku. Kedua telapak tangannya yang bersandar pada tembok membuatku terkurung dan mempersulitku untuk pergi. Aku menyerah untuk memberontak sungguh badan ku bergetar saat itu karena emosi itu sudah terlalu lama menguasai jiwaku. Aku menunduk tanpa berani menatapnya dan tetap terisak.
Aku tak berani berkata apapun saat mata tajam itu terus menatapku seolah-olah ia dapat membaca fikiranku. Ketika aku menundukkan kepala dia mendangakkan kepala ku dengan jarinya yang mengangkat daguku, mengusap air mata ku sedang aku berusaha untuk tidak memandang matanya dedngan terus memejamkan mata ku dan dia berkata, “mengapa kamu tidak berani lagi untuk menatap mataku seperti di saat tadi pagi kamu akan memukul ku? Mengapa kamu tidak lagi berani untuk menatapku jika kamu tahu bahwa aku adalah orang yang selama ini kamu tunggu? Mengapa? Tidakkah kamu melihat bahwa aku pun sangat merindukanmu!”
Setelah mendengar kata – katanya yang terakhir tangis ku sungguh menjadi karena terharu bahagia. Tak bisa lagi bagi ku untuk meredam tangis ku. Damai ku rasakan setelah apa yang ia katakan dan setelah aku berani untuk menatap mata itu. “ Le, Leo” kataku sambil berusaha untuk mengucapkan namanya. Dia kembali menyeka air mataku dan membiarkan kedua telapak tangannya berada pada kedua pipi ku. Kemudian ia tersenyum, mengecup mata ku dan mengambilku untuk berada dalam pelukannya.
Tangisan ku pun mereda dan berkata “Bagaimana bisa kamu mendahului ku untuk sampai ke rumah? Jangan-jangan kamu pun tahu kalau ternyata aku adalah…” tanyaku yang masih tak mengerti bagaimana dia dapat sampai lebih dulu daripada aku. Ia memotong kata-kata ku “ bagaimana aku bisa lupa denganmu kalau kamu terlalu sering hadir dalam mimpi ku? Bagaimana aku tidak dapat mendahului mu jika dalam perjalanan kamu terus membayangkan ku, memikirkan ku, dan tersenyum-senyum sendiri layaknya orang gila. Aku pun tidak akan pernah bisa lupa dengan tatap mata mu yang begitu tajam menantang. Bagaimana pula aku bisa lupa dengan Rosa yang lantang dan kejam seperti mu?” sesaat aku pipi ku di buatnya memerah dan sesaat pula langsung menjadi merah padam. Dia terus tertawa dan menertawakan ku.
Begitu dia melihat muka ku yang merah padam dia keburu kabur duluan ke ruang depan tempat dimana kedua orang tua kami sedang bercengkramah dan aku mengejarnya. Tapi dia berlindung di belakang ibu ku dan kemudian berlari lagi sambil berteriak, “ tolongggg, singanya sudah keluar tuh te….?” kedua orang tua kami menertawakan aku dan dia yang masih tetap seperti dulu. Di saat kami masih kecil dan Leo selalu saja menggoda ku yang pada akhirnya aku tidak bisa menggapai dan menghajarnya. Jika aku sudah tak dapat menggapainya, aku pasti akan menangis karena terlalu gemasnya keinginanku untuk memukulnya.
Tapi tidak untuk kali ini, aku berhasil menggapainya dan tentu saja aku akan menghajarnya. Setelah dia minta ampun pada ku aku pun merasa lega. Tak terasa terlalu jauh jarak yang ku tempuh hanya untuk menghajarnya. Pulangnya dia menarikku untuk naik punggungnya dan terus menggendongku sampai rumah. Senangnya hari ini.
“Yang hilang kini telah kembali. Mengisi kembali hati yang telah lama terkosongi. Tak ada yang mampu mengisi dan tak ada yang berhasil untuk mengganti karena semua sudah terpatri dalm lubuk hati jika hati ini hanya engkau yang memiliki.” Gumamku dalam hati setelah siang mulai berganti malam dengan menatap sang bintang rembulan.

"Hti yang Menepi"

setitik air mata bertepi dalam cinta
mengerti akan ketulusan dalam jiwa

berusaha pahami hati yang menyakiti
sakit namun tak tersakiti
bodoh tapi ini bukan di bodohi
rasa ini lahir dalam diri tiap nurani
ku coba tuk pahami
hati yang kini menepi
menepi tuk hempaskan segala keterpurukan diri

ku tatap dia
lekat dan sungguh terasa
sayu tatapan matanya
mengiris ketentraman jiwa
ku damaikan ia
dengan menyentuh pipinya
meresapi tiap gurat makna
pada wajahnya
tajam matanya namun lemah ku tahu dia
ku bisikan kata
" Tenanglah bersama jiwa yang akan setia "
dengan senyum tenang berusaha menghiburnya

Tak Mengerti

bukankah dia yang tengah berada dalam kegalauan hati
berusaha menghancurkan diri demi diri
untuk mencapai semua kepuasan nurani
menghancurkan yang tak seharusnya di hancurkan
memberikan yang ta seharusnya di berikan
mengerti yang tak mampu di mengerti
mengotori tiap fikir dalam jiwa nurani
hidup yang tak pernah mengerti arti
terpendam hanya untuk kenikmatan pribadi
begitu licik diri ini

namun itukah kesungguhan yang sejati
tak mengerti yang tak di mengerti
peduli namun tidak pula peduli
hanya bisa membesarkan inisiatif diri
tuk memenuhi harapan manusiawi

"JATI DIRI"

mungkin kini
aku tengah berkelana dalam mimpi
mendapati banyak keindahan yang tak sejati
ku tatapi pada keindahan yang tak abadi

kini aku mulai berlari
berlari mencari indah di lain sisi
kini ku berlari dan berputar mengelilingi
dalam keindahan lain yang ku sadari

aku hempaskan segenap lelah diri
beralas padang hijau bak permadani
begitu halus saat tangan ini menjamahi
ku pejamkan mata dan segenap hati
berusaha menghapuskan segala kejenuhan hati
menghirup kesegaran atas kebebasan diri
walau ada ikatan yang tak berarti

kini ku terbangun
namun bukan dari mimpi yang tersusun
dalam duduk pun
kini aku melamun

tapi bukan atas khayalan kosong
tapi atas impian yang harus ku songsong
kini ku berdiri
dalam ketegakan diri
menatapi segala keindahan ciptaan Ilahi
ku berlari dan terus mencari

akan bagaimanakah seharusnya
ku bangun kepribadian positif ini

" HAMPA"

Oleh: Rosa Pamela Fatimah
Apa yang terjadi sebenarnya
Aku tidak pernah tahu dan tak pernah tahu
Tapi mengapa semuanya begitu hampa
Membuatku merasa sendiri
Bingung dengan apa yang terjadi
Tidak bisa aku tuk terus berdiam diri
Menyakitkan semua ini
Kala ia membuatku begitu melayang di udara
Namun dalam sekedipan mata
Aku terjatuh dengan patahnya sayap
Yang melekat pada tubuh
Aku terjatuh ke dalam rimba
Aku mencari siapapun yang dapat menolongku
Namun aku tak menemukan seorang pun
Aku berlari dan terus berlari
Tak dapat rasanya mengendalikan emosi
Hingga aku temui danau yang begitu indah terhampar
Aku menjerit, menjerit, dan terus menjerit
Aku menangis sepuas-puasnya hati
Tak sanggup aku terus menahan ini
Sakit dan sangatlah sakit
Terhuyung tubuhku dan aku terduduk
Di atas pasir pinggir danau
Ku tutupi wajahku dengan kedua telapak tanganku
“ Apa yang sebenarnya terjadi? “
“ Mengapa aku sungguh merasakan kesepian yang teramat sangat “
“ Mengapa aku menangis bagaikan aku tengah bersedih “
Hampa
Tak dapat ku temui penyebab pastinya
Aku menangis akan kebodohanku sendiri
Untuk apa ku lakukan semua ini
Jika pada akhirnya aku hanya akan menjadi boneka koleksi
Di sudut ruangannya
Berkumpul dengan boneka-boneka lainnya
Tiada yang istimewa
Sungguh terlupakanlah lebih tepatnya
Tangisan sang boneka pun menjadi
Terus melacaki
Siapakah sebenarnya si pengoleksi???