Karya ::: Rosa Pamela Fatimah
Kini adalah hari yang di nanti-nanti oleh segenap siswa-siswi kelas tiga SMA sederajat di seluruh penjuru wilayah Negara Indonesia. Termasuk SMA yang merupakan tempat ku menuntut ilmu selama tiga tahun ini. Semua siswa di sekolah ku sengaja berangkat lebih pagi sesuai dengan kesepakatan yang di lakukan di aula kemarin. Kita sepakat untuk datang jam tujuh pagi karena biasanya kami berangkat jam sembilan pagi setelah menghadapi semua ujian yang telah di tetapkan.
Bagi siswa yang memiliki lap top di haruskan untuk membawanya untuk dapat mengintip hasil ujian yang menyatakan kelulusan semua siswa di SMA ku melalui blog yang telah di buat oleh sekolah. Tentu saja ada banyak siswa yang membawanya karena rata-rata teman-teman ku yang berada dalam lingkup sekolah adalah anak-anak dari orang kelas menengah ke atas. Namun tak pernah ada pemisah di antara semua siswa untuk saling bergaul dan melaksanakan banyak hal secara bersama. Walau tak semuanya dapat dilakukan bersama.
Setelah jam menunjukkan pukul tujuh tepat semua siswa kelas tiga sudah berada dalam kelasnya masing-masing tanpa wali kelas mereka. Semua lap top yang mereka bawa dikeluarkan dan diletakkan di atas meja dan melihat bersama-sama. Tidak ada keegoisan yang menuntut salah seorang siswa untuk memperhatikan dimanakah letak peringkatnya. Semua memperhatikan tulisan lulus dan tidak lulus. Setelah semua di lihat dan diteliti bersama ternyata semua siswa di SMA ku dinyatakan lulus semua.
Semua bergembira melihat informasi yang telah dilihat bersama-sama. Mereka semua bersyukur akan berita yang menggembirakan itu. Mayoritas yang beragama Islam ada beberapa yang berlari ke musholla sekolah untuk dapat melakukan sujud syukur setelah mengambil air wudlu terlebih dahulu. Ada pula yang sempat melakukan shalat dhuha bersama-sama. Bagi yang beragama Kristen mereka semua mengucap “Puji Tuhan” dan berdoa dengan cara mereka masing-masing. Bagi yang beragama Hindu ataupun Budha mereka pun berdoa dengan cara mereka masing-masing.
Semua saling berpelukan, melompat kegirangan, cipika-cipiki bagi yang perempuan dan setelah itu langsung pergi ke ruang guru bersalaman dan mengucapkan segala permintaan maaf atas semua kesalahan yang mungkin telah mereka perbuat dengan menangis tersedu-sedu bagi yang tak dapat menahan haru. Para guru turut bersuka atas kegembiraan semua muridnya yang ternyata lulus semua.
Setelah itu barulah semua siswa berpesta ke lapangan sekolah yang di kelilingi oleh kelas-kelas dan berbagai macam ruangan yang membentuk bangun persegi jika dilihat dari atas. Semua spidol dan juga pilox yang mereka bawa sengaja sebagai persiapan untuk berpesta di keluarkan dan mulai menyemprotkan kepada sesame siswa kelas tiga. Ada yang hanya duduk atau berdiri dan bercerita kegembiraannya di koridor depan kelas masing-masing atau tertawa memperhatikan kegilaan siswa yang berada di tengah lapangan.
Semua adik-adik kelas memilih keluar kelas untuk memperhatikan bagaimana ekspresi kegembiaraan kakak kelas mereka yang nantinya akan mereka alami pula. Mereka turut tersenyum bahagia dan tak jarang pula mereka tertawa dengan kegilaan yang sebentar-sebentar terjadi di antara kerumunan siswa yang tengah bahagia. Satu yang aku salut dengan kekompakan siswa angkatanku saat ini. Mereka semua kompak untuk tidak melakukan pawai mengelilingi kota karena khawatir akan terjadi sesuatu hal yang tak pernah di diinginkan mereka semua.
Ada seorang siswi kelas tiga yang menjadi perhatianku saat ini. Ia berada di lapangan bersama kami semua tapi dengan wajah tertekuk dan menunduk lunglai memperhatikan jalannya yang ingin keluar dari keramain yang tadi sedikit dia pun merasakannya. Ku datangi dia dank u raih tangannya. “ mau ke mana? Ayolah, kita tetap di sini saja bersuka cita bersama-sama.” Dia menatapku kosong, menggelengkan kepalanya dan kemudian tersenyum kecil kepada ku.
“oh, ya sudahlah. Mungkin dia sedang ingin menyendiri saat ini” fikir ku dalam hati. Ku pandangi dia yang berjalan membelakangiku untuk mencapai kelas dan mungkin ingin menyendiri di sana untuk menenangkan hatinya. Ku pandangi hingga hilang dia memasuki kelasnya yang juga merupakan kelas ku.
Aku terdiam begitu tidak lagi melihatnya setelah badannya berada di balik tembok kelas yang tengah ku pandangi kini. Sekarang aku jadi teringat akan apa yang telah ia ceritakan kepadaku sehari setelah ujian nasional itu selesai kami laksanakan. Aku pun turut menerawang kosong memandangi dinding kelas dan kemudian menunduk. Berjalan ke arah kursi yang berada di tepi lapangan dan tak jauh dari ku. Aku menggapainya dan terduduk menerawang di sana.
*
Kala itu ia tengah berada sendiri dan merenung kosong dalam kelas. Di waktu yang tak seharusnya ia berada di sana. Siang itu aku akan melaksanakan ekskul bersama teman-teman pecinta alam untuk membimbing para junior mempelajari berbagai macam materi untuk menghadapi keadaan-keadaan yang mungkin saja terjadi atau persiapan dalam menghadapi medan yang belum pernah kami di ketahui oleh para junior yang masih pemula.
Waktu itu aku lupa membawa buku tugas yang tertinggal di dalam laci dan aku pergi ke kelas untuk mengambilnya karena berniat menyelesaikan semua tugas yang telah menumpuk. Begitu aku berada di ambang pintu aku terheran dengan dia yang hanya duduk terdiam menerawang seperti ada beban yang cukup memberatkan di pundaknya. Seharusnya hari itu dia libur karena setelah ujian pelajaran untuk siswa kelas tiga di liburkan selama tiga hari.
Ku datangi dia dan aku duduk di bangku yang berada di depannya dengan menghadapkan badan dan wajah ke arahnya. “Hei, Lara! Mengapa kamu berada di sini. Bukankah seharusnya hari ini kita libur. Seharusnya kamu pergi refreshing dengan teman-teman atau keluarga karena sebentar lagi akan nada ujian sekolah?” begitu langsung tanyaku kepada dia yang dulunya terkenal supel namun sangat tertutup. Karena ketertutupannya itu ada banyak teman yang datang padanya untuk mencurahkan semua permasalahan yang menjadi beban bagi mereka. Kendati demikian Lara tak pernah memberikan saran karena dia pun tidak pernah tahu harus menyarankan apa dan bagaimana tapi dijamin semua rahasia akan tertutup rapat tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya karena sifatnya yang tertutup untuk segala permasalahan yang di hadapainya.
Dia menatapku dengan wajah murungnya. Terlihat pucat pada wajah hitam manisnya. Ku Tanya lagi “apa kau sakit? Mengapa kau begitu pucat? Mengapa badan mu menjadi lebih kurus sekarang?” Tak ada jawaban yang aku dapatkan namun tatapan matanya kini begitu nanar. Seperti menyimpan beribu permasalahan.
Ku beranjak dari kursiku dan berpindah untuk dapat duduk tepat di sampingnya. “jangan kau sembunyikan masalah mu! Kau akan sakit dengan sikap tertutupmu. Ada yang harus kau tutupi tapi ada pula yang seharusnya tidak kau tutupi karena kamu butuh seseorang untuk dapat berbagi akan semua kisah mu. Jika kau percaya pada ku aku akan tetap disini hingga kau mau menceritakan semuanya pada ku.”
Kini linangan air mata itu masih penuh di pelupuk matanya dan belum tumpah. Dia melihatku dan menangis sejadi-jadinya dalam pelukanku. Ku peluk ia erat agar ia dapat merasakan tenang yang mungkin sebentar akan mendamaikan. “aku ingin kuliah Dara. Tapi orang tuaku menentangnya. Aku tahu mereka mampu untuk membiayai kuliahku tapi mereka bersi keras untuk menikahkanku. Apa yang bisa ku perbuat saat ini Dara? Sulit bagiku untuk melaksanakan apa yang menjadi keinginan mereka. Aku tak bisa berbuat apa-apa Dara.” Miris sekali kata-kata itu terlontar dalam telingaku. Menggetarkan tubuhku dan membuatkan merinding haru. Tangisnya meledak-ledak dalam pelukku dan air mataku pun leleh deras membasahi pipi ku. Ku biarkan air matanya tumpah hingga tak lagi ku dengar suara isak tangis yang terlalu menderu agar ia merasa lebih tenang.
“tak pernahkah kau mencoba untuk mengatakan segalanya. Bisa juga kau berkata pernikahan dapat dilangsungkan nanti saat kamu telah selesai dengan semua studimu. Jangan menyerah dulu kawan ku. Hidupmu tak akan berakhir disini. Masih ada banyak hal yang dapat kamu lakukan untuk menentang kehendak orang tuamu.” Saranku singkat namun rumit bagiku.
“tak semudah yang kau bayangkan Dara. Orang tua ku sangatlah keras kepala dan tak bisa mengerti semua hal akan anaknya. Sudah berkali-kali aku merundingkannya namun mereka tak juga mau mengerti aku. Terima kasih Dara kau sudah membuatku merasa lebih ringan sekarang namun keinginan orang tua ku tidak akan bisa untuk di tentang.” Begitulah singkatnya dia menanggapi apa yang aku katakan.
Aku tahu bagaimana orang tuanya Lara dan aku tahu bagaimana seseorang yang akan menikahi Lara. Orang tua Lara sungguh berkecukupan untuk membiayai kuliah Lara namun mereka adalah orang tua yang masih berada dalam pemikiran orang-orang terbelakang. Masihlah sangat kuno cara fikir mereka.
Sedang orang yang akan menikahi Lara adalah seorang juragan kaya yang akan menjamin kehidupan seluruh keluarganya jika kedua orang tua Lara berhasil memaksa Lara untuk menikah dengannya. Dia adalah seseorang yang sudah memiliki tiga orang istri dan enam orang anak dari istri-istrinya. Tidak tahu dengan istri gelap yang belum pernah diketahui oleh ketiga orang istrinya. “Sungguh lelaki mata keranjang. Jelas saja Lara bersi keras menentang keinginan orang tuanya.” fikirku.
Sekali-kali pernah aku mendengar percekcokan antara Lara dan kedua orang tuanya saat aku berkunjung ke rumah Lara.
“Dia akan meminangmu setelah pengumuman kelulusanmu nanti. Bagaimana pun hasil dari ujianmu kamu harus menikah dengannya. Tidak ada kata tidak.” Kata ayahnya
“Aku tidak ingin menikah secepat ini Bapak. Aku masih ingin kuliah jika tidak aku masih ingin bekerja. Aku pun tak ingin menikah dengan orang mata keranjang seperti dia Bapak. Seharusnya Bapak mengerti ingin ku. Jangan terus paksa aku untuk menikah dengannya Bapak. Masa depan ku tak sependek itu Bapak.” Ia menentang dengan air mata bertetesan. Ku mengerti tangisannya karena isak tangisnya yang begitu miris dalam jiwa.
“Jangan berfikir bodoh kamu. Masa depanmu akan sangat baik jika kamu mau menikah dengannya. Dia adalah seorang juragan kaya yang akan menjamin seluruh kehidupan kita. Jangan pernah membantah atau Bapak akan bersikap keras pada mu.” Ngotot Bapak itu seperti akan memasukkan anaknya dalam mulutnya. Begitu keras hingga aku dapat merasakan kegalauan hati Lara.
“Terserah Bapak mau bagaimana yang jelas aku tidak ingin menikah dengannya. Aku masih ingin melakukan banyak hal. Bukan sebagai ibu rumah tangga yang akan menyesali segalanya. Batalkan pernikahan ini atau aku akan bunuh diri.”katanya membela diri.
“Lara! Tutup mulut mu! Seharusnya kau tahu keinginan Bapak, Lara. Bapak dan Ibu ingin kamu bahagia.” Kata ibu menjadi penengah agar tak tumpah semua amarah Bapaknya.
Lara tidak dapat lagi melanjutkan kata-katanya. Dia menunduk, air mata deras membasahi pipi manisnya dan berlari keluar rumah tanpa kata-kata. Aku pun berlari mengejarnya untuk dapat menenangkannya.
“Sudahlah Dara! Jangan coba hibur aku. Aku fikir kamu sudah tahu dengan semuanya. Sudah banyak yang kamu tahu tentang masalahku.” Katanya dalam isak tangisnya. Aku memeluknya dan menenangkannya dengan bersantai di sebuah taman yang jarang pengunjungnya. Begitu sepi tapi itu yang ku cari untuk membuatnya lebih lega. Sedih aku jika mengingat percekcokkan itu. Kata-kata mereka saat itu terpatri kuat dalam memori di otakku. Selalu mengiang di saat malam dan saat aku sedang dalam kesendirian.
*
Khusus hari ini sekolah memberhentikan pelajaran untuk siswa kelas satu dan dua tanpa ada yang mengetahuinya. Pihak sekolah menyetelkan lagu yang bernuansa bahagia agar kita semua dapat berjoged bersama. Semua siswa kelas tiga yang tadinya memilih memperhatikan saja kini telah bergabung bersama kami di dalam lapangan dan berjoged riang kegirangan.
Teman-teman yang melihat ku merenung sendirian di tepi lapangan memanggilku dan mengajakku bergabung dengan mereka. Aku tersenyum riang pada mereka dan berlari ke tengah mereka. Setelah aku berada di tengah-tengah lapangan bersama mereka aku tersenyum riang dan diam. Berputar perlahan memandang ke seluruh ruangan. Di mulai dari ruang guru berputar ke kanan. Kelas satu, kelas dua, dan kemudian kelas tiga hingga di pucuk sendiri aku melihat kelas ku dan terdiam berusaha menerka apa yang sedang dilakukan oleh Lara di dalam ruang kelas di sana.
“Mungkin sedang menekuk wajahnya dan dia sedang ingin menyendiri saat ini.” Ku lihat di jendela kaca yang agak tinggi. Kira-kira tingginya dua meter dari lantai koridor. Ku lihat sekilas dan kemudian aku berbalik dengan teman-teman.
Namun aku tersentak seperti ada yang tak beres dengan apa yang ku lihat dari jendela kaca ruang kelas tadi. Aku berbalik cepat dengan tersentak untuk dapat memandang kembali ke jendela kaca ruang kelas ku. Kini aku berlari kencang menggapai ruang kelas dengan sesekali terjatuh dan tak peduli dengan luka dan darah yang mengalir di lututku.
Aku menggapai daun pintu kelas dan mendobraknya paksa. Aku menjerit histeris dengan apa yang aku lihat jelas sejelas-jelasnya dengan kedua mataku. Aku menjerit dan menangis histeris membuat semua yang berada di lapangan dan semua yang berada di sekolah berlari berbondong-bondong kearah ku.
Mereka yang rata-rata wanita menjerit histeris pula dan menangis seperti yang aku lakukan. Dia, Lara yang pernah menjadi bagian dari kehidupan semua siswa di SMA kini tidak ada dalam ruangan. Tidak ada dalam kehidupan. Namun tergantung dengan tampar melilit lehernya dengan kematian.
Tak ada yang pernah menyangka dengan terjadinya hal ini. Para lelaki yang berani datang dan melepaskan Lara dari ikatan kematiannya. Meletakkannya di lantai dalam keadaan lunglai dan tubuh pucat agak membiru. Ku gapai jenazahnya dan ku peluk dia. Aku menangis dan terus menangis hingga mereka membawa Lara ke Rumah Sakit setelah sebelumnya memanggil Polisi untuk melakukan evakuasi.
Setelah mereka membawa Lara ke Rumah Sakit aku berlari untuk menuju ke rumah Lara. Aku temui kedua orangtuanya yang kebetulan sang juragan pun berada di sana menanti kedatangan Lara untuk segera meminangnya. Mereka para warga yang tengah menanti perayaannya pun terheran dengan langkah lebarku dan menepi seolah member jalan agar aku dapat mengatakan semua hal pada kedua orangtuanya. Setelah aku berada di hadapan mereka aku terdiam, mengambil nafas dan menatap tajam satu-satu pada wajah mereka bertiga.
“Sudah terlambat jika aku mengatakannya sekarang. Dulu Lara pernah menceritakannya kepadaku. Tentang banyak hal yang harusnya dia jalani setelah kelulusan ini. Dia ingin pergi untuk melanjutkan studi. Dia ingin pergi untuk lebih banyak lagi mempelajari dan mengerti. Tapi kini dia pun telah pergi. Pergi ke hadapan Ilahi. Sungguh picik fikiran kalian. Sungguh busuk materi yang kalian incar. Sungguh kalian akan menyesal.” Kataku menatap tajam pada kedua orangtuanya.
“dan kau jika aku bisa aku seharusnya membunuhmu. Tapi aku tidak boleh melakukan itu. Karena aku tahu bahwa ada banyak anak bini mu yang masih memerlukanmu. Sungguh tak sampai hati aku mengatakan semua ini. Tapi kamu sekali-kali harus mengerti. Tapi mengapa harus melalui Lara. Lara yang memiliki banyak harapan. Lara yang masih memiliki begitu luas bentangan harapan. Tapi kini dia harus menghadapi kemetian. Kematian yang sungguh tak wajar.” Ku katakan dengan terus menatap tajam pada orang mata keranjang.
Ku pandang kedua orang tua Lara yang kini mukanya mulai memerah padam seakan aku sedang bercanda dan tak mengerti akan kebenarannya. Ayah Lara menatap tajam pada ku. Keras sekali dia menamparku dan ibunya menampar di lain sisi pada pipi ku. Aku tersenyum.
“lanjutkan, teruskan hingga kalian merasa puas dengan terus meghajarku. Sekali pun aku tak akan membalas tamparanmu. Karena aku tahu setelah kalian tahu kalian akan memukuli jiwa dalam diri kalian sendiri.” Kataku menantang mereka.
Setelah aku berkata mobil ambulance datang membawa jenazah Lara dengan semua siswa membuntuti di belakangnya. Setelah jenazah Lara di keluarkan dari mobil ambulance dan di letakkan tepat di hadapan kedua orang tuanya mereka berhambur memeluk Lara dan ku lihat nanar pada wajah orang yang akan meminangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar