Hilang dan Kembali
karya : Rosa Pamela Fatimah
Mengawali pagi indah dengan menyunggingkan senyuman. Begitu gorden rumah terbuka karena hembusan angin semilir dari balik jendela kamar terbuka yang menyapu lembut wajahku dan membelai helaian rambut hitam halus ku seolah menyadarkanku untuk segera memulai aktivitas.
Merupakan suatu kebiasaan buruk bagiku karena selalu membiarkan jendela kamarku terbuka setelah semalaman memandangi atap hitam megah yang tertempelkan bintang dan rembulan sebagai penyempurna keindahannya. Aku tidak ingin merugi karena tidak bisa mendapati bintang jatuh di malam hari. Semakin malam waktu menunjukkan akan lebih banyak lagi aku mendapati meteor-meteor itu jatuh laksana sebuah bintang yang sedang jatuh. Kebanyakan orang awam tak mengerti bahwa itu adalah meteor dan menyebutnya dengan bintang jatuh. Setelah sinar mata ini mulai meredup kurasakan, aku langsung menutup gorden jendela dan membaringkan tubuhku di atas kasur dengan tidak karuan.
Sebenarnya hari ini adalah hari libur namun untuk pekerjaan yang rutin harus di kerjakan di rumah tidak boleh turut diliburkan pula. Satu per satu pekerjaan itu ku lakukan dengan semangat dan ternyata aku membersihkannya lebih cepat dari hari-hari biasanya. Setelah mengerjakan semua tugas bersih membersihkan termasuk juga dengan membersihkan diriku sendiri tentunya, aku pergi ke sebuah pondok pesantren tempat di mana kakak ku menimba ilmu.
Pekerjaan ini pun sudah menjadi rutinitas di setiap pagi ku untuk menjenguknya di pondok pesantren. Hal yang sungguh sangat tidak biasa karena biasanya para keluarga dari seorang santri pasti melakukannya setiap satu minggu sekali atau setiap sebulan sekali. Tapi tak apalah fikirku, karena aku memang selalu khawatir dengan sifat kekanak-kanakannya yang akan membuat para santri lainnya terganggu. Lebih sering pula mereka yang mengganggu kakak ku telebih dahulu. Sifat kakak ku memang sangat kekanakan tapi memang dia berbeda dengan anak-anak lain yang memiliki kesempurnaan untuk berfikir.
Aku mengunjunginya dengan mengendarai sebuah motor. Di sepanjang perjalanan aku terus bernyanyi untuk membuat ku merasa begitu tenteram sambil menikmati hijaunya tanaman-tanaman yang terhampar begitu luas dalam berpetak-petak sawah. Membuat setiap pemandangnya merasakan kesegaran yang sangat menenangkan.
Sudah dapat ku pastikan, kalau setelah aku memarkir sepeda motor yang aku bawa dia akan menghampiriku dengan berbagai macam keluhan atas perbuatan santri lainnya yang tidak mengenakkan dan pasti akan membuatnya menangis. Sungguh menyebalkan para teman santrinya karena mereka terlalu sering membuat kakakku menangis.
Aku suruh kakak ku menjelaskan apa yang terjadi. Jika temannya berbuat seperti itu karena ulah kakak ku sendiri pasti aku akan memberinya pengertian dan menambahkan uang jajan agar ia tersenyum simpul. Itupun sebagai perjanjian agar dia tidak akan berbuat ulah lagi. Namun bila ia menangis karena memang ulah temannya yang melewati batas langsung saja aku menghadap muka temannya dan akan ku beri tau betapa kejamnya aku. Jangan sampai air mata kakak ku jatuh lagi karena tingkahnya atau aku tak segan untuk melakukan sesuatu.
Aku sangat menyukai adegan itu. Di saat aku memberi pengertian dan mengancamnya karena pasti setelah itu ia akan berbuat manis pada kakak ku. Tidak peduli itu karena ia takut padaku atau karena ia sadar atas apa yang telah ia lakukan pada kakakku. Semua santri mengenalku karena sikapku yang ini bahkan pengasuh atau Ustadzah mereka pun mengenal ku. Semua karena aku pasti melaporkannya pada pengasuh-pengasuh itu jika memang ulah mereka melewati batas. Tentu saja mereka akan di beri hukuman untuk melakukan banyak hal.
Selesai dengan tugas yang ini aku pun langsung pergi dengan mengendarai sepeda yang ku bawa tadi. Melewati lorong-lorong dengan kecepatan yang sungguh sangat pelan karena aku masih ingin menyegarkan otakku setelah terkotori dengan amarah di pondok pesantren tadi.
Di sepanjang perjalanan aku mengamati bagaimana sorot mata orang-orang yang bersalipan denganku. Buat ku tidak ada yang menarik dari tatapan mata mereka sampai pada akhirnya aku menemukan sebuah sorotan mata tajam seorang pria pada ku yang bisa membuatku gentar namun membuatku penasaran. Tak pernah aku gentar dengan hal semacam ini.
Tatap mata itu bagaikan tatapan mata seorang polisi yang memandangku seakan aku ini adalah seorang buronan yang melarikan diri dari dalam ruangan berjeruji besi. Aku benci karena ternyata tatapan itu saat ini berubah menjadi pandangan sinis mengucilkan karena di selingi oleh terangkatnya bibir sebelah kiri seolah-olah dia sangat membenciku dsn sudh sangat mengenalku. Tanpa pikir panjang langsung saja aku berhenti dari sepeda motor yang ku kendarai dan menghampirinya yang tengah duduk di atas rerumputan yang terhampar luas di pinggiran jalan raya.
“heh, lepaskan pandanganmu itu dari ku atau aku akan menghajarmu! Lepaskan juga senyum sinis itu yang berusaha mengucilkan ku!” begitu sentakku.
Begitu dia mendengar kata-kataku dia langsung berdiri. “kau kira kau itu siapa? Hanya seorang wanita lemah yang sedang berusaha untuk masuk ke dalam kandang macan yang sedang kelaparan. GR kau. Siapa yang memandangmu? Aku tidak sedang memandang siapa pun kalau kau tahu.”
“lancang benar mulut mu. Beraninya mengatakan bahwa aku ini adalah wanita lemah. Meminta maaf padaku atau aku akan memukulmu!”
“kau kira kau siapa? Tak perlu pula aku meminta maaf pada mu. Lakukan saja kalau kau berani.” Begitu jawabnya sambil ia memperhatikan tanganku yang mulai terkepal dan senyum sinisnya itu kembali lagi ia sunggingkan.
“Ohhh, sungguh orang ini ingin membuat ku mencapai klimaks amarahku.” Begitu fikirku. Tanpa fikir panjang ku raih krah bajunya dan mengepalkan tanganku ke arah mukanya dengan dg jarak yang hanya beberapa senti. Tidak ku sangka ia akan tersenyum begitu manis setelah aku melakukan itu.
“uh, menyebalkan” umpatku padanya dan mengurungkan kepalan tanganku mendarat ke wajahnya sambil melumat-lumatkan tanganku karena geregeratan. Langsung saja aku pergi meninggalkannya dan meraih sepeda motor dan mengendarainya dengan sangat cepat. Aku menyetir sambil terus menggerutu “apa maksudnya, setelah ia tersenyum sinis padaku dan membuatku merasa risih dengan pandangannya belum lagi dia mengatakan bahwa aku hanyalah wanita lemah dan lagi-lagi di saat aku akan menghantamkan kepalan tanganku ke wajahnya ia tersenyum begitu manisnya.”
“oh, kau kira kau begitu tampan apa? Beraninya tersenyum sinis seperti itu padaku. Mengapa tadi aku mengurungkan niatku untuk menonjoknya ya? Uh, kalau saja aku memukul wajahnya tadi pasti mukanya sudah hancur.” Aku menggerutu sendiri seakan-akan dia masih berada di hadapanku.
Begitu aku sadar bahwa aku sedang mengendarai sepeda dengan kecepatan tinggi aku pun langsung mengurangi kecepatannya dan kembali dengan kecepatan normal seperti sebelum aku bertemu dengan manusia itu. Karena perbuatanku itu, aku pun menjadi tersenyum-senyum sendiri. aku berfikir “mengapa harus aku mencaci maki dirinya? Tapi tak apalah, dia begitu menyebalkan. Sebenarnya dia lumayan ya. Ketajaman sorot matanya membuat ku sulit untuk melupakannya. Seakan-akan itu adalah sesuatu yang bisa menyulut gejolak dalam hatiku. Senyum manisnya, oh, ssungguh gemas aku dengannya. Huhhhh, sudah lupakan saja lagi pula semuanya tidak akan berlanjut. Cukup sampai di sini saja, untuk bisa bertemu atau tidak di hari kemudiannya pun belum tahu pasti. Biarlah jadi pengalaman mengejamkan bagiku kepada orang lain hari ini. “Hahahaha, jahat benar aku.”
Begitu akan memasuki halaman rumah ada dua sepeda motor terparkir di sana. Satu adalah sepeda motor matic berwarna putih dan yang satu lagi sepeda motor cowok berwarna merah dengan goresan – goresan cat berwarna hitam. Ahhh, aku sangat mengenali sepeda motor matic putih itu yang merupakan sepeda motor milik teman Ibu ku. aku pun dengan riang memasuki halaman rumah dan memarkirnya.
Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang sungguh amat senang karena aku sudah sangat dekat dengannya sudah seperti ibu ke dua bagiku dan dia pun sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri. Aku langsung menghampirinya, memeluknya, dan mencium pipinya. “ wah, kebetulan Tante ke sini aku kan ingin pergi jalan-jalan dengan tante, dengan ibu juga. Nyari udara segar di daerah pegunungan gitu te, biar adem. Heee” ujar ku mengajaknya pergi.
Aku tidak ingin mengatakan apa yang telah terjadi pondok pesantren pada ibu. Khawatir akan memancing emosinya. Kalau emosinya sudah terpancing biasanya amarahnya sungguh menakutkan. Heee. “Kakak baik-baik aja kok di pondok. Tadi adek nambahin uang jajan buat Kak Reyta soalnya tadi agak sedikit ngalem ke adek” begitu ujar ku pada ibu dan dalam keluarga aku sudah terbiasa di panggil adek.
Sepintas aku langsung teringat kalau di halaman masih ada satu sepeda motor yang tak di ketahui dimana pemiliknya. “Tante dengan siapa? Mengapa di depan ada satu sepeda motor lagi?” tanya ku pada tante Ratna. Ya, itu namanya, Ratna.
“ohhh, itu Leo. Semalam dia baru datang dan paginya langsung mengajak kemari. Bilangnya kangen skeluarga di sini. Apalagi denganmu.” Begitu tutur tante Ratna.
“Ohhh ya! Lalu sekarang dia di mana?” tanyaku pada tante Ratna kegirangan dan sedikit terkejut karena aku tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa dia akan kembali lagi ke Jawa setelah sekolahnya selesai di Kalimantan.
“Dia ada di halaman belakang. Dia rindu dengan tempat itu, rindu dengan kenangan-kenangan masa kecil bersamamu. Begitu katanya. Dasar anak muda ya??” tante Ratna berkata seperti itu sambil tertawa bersama ibu. Aku pun langsung berjalan dengan agak canggung ke halaman karena aku khawatir dengan perasaan ku sindiri. Sebenarnya tubuh ku sedang bergetar begitu aku berusaha melangkahkan kaki ku ke halaman belakang. linangan air mata sudah menggenangi mata ku.
Leo adalah teman masa kecil ku yang terpisah karena dia harus pergi bersama kedua orang tuanya keluar provinsi. Di Kalimantan tengah tepatnya yang merupakan kampung halaman dari ayahnya. Dia tidak pernah menyutujui hal itu tetapi kedua orang tuanya memaksa karena tidak ada yang dapat mengurusnya di Jawa. Kedua orang tuaku sebenarnya berkenan untuk dapat mengurusnya karena dia sudah terlalu akrab denganku.
Namun orang tua Leo bersi keras untuk membawanya pergi karena mereka tidak bisa berlama-lama untuk meninggalkan dia bersama kami. Usia Leo saat itu masih terlalu muda untuk ditinggalkan dan dititipkan kepada orang tuaku. Waktu itu dia berumur 12 tahun sedangkan aku masih berumur sepuluh tahun. Orang tuaku pun tak dapat memaksanya karena semua pasti akan berpengaruh buruk terhadap Leo jika dia terlalu lama tidak merasakan kasih sayang dari orang tuanya. Sungguh pemikiran orang tua yang bijak.
Setelah ia pergi, aku atau pun keluarga ku tak pernah mendengar kabar akan keadaannya di sana. Sepucuk suratpun tak pernah datang untuk memberi kabar. Sedangkan aku, terlalu sering aku mengiminya surat dan tak pernah sekalipun aku menerima balasan darinya. Selalu dan selalu itu yang terjadi. Aku merasakan sedih dan sepi yang teramat sangat. Perlahan-lahan benci itu muncul. Namun, semakin benci itu berhasi menguasai ku semakin besar pula rasa rindu itu menyiksaku.
Lima tahun kemudian aku mendengar kabar bahwa mereka sudah pulang. Ibu yang mengatakannya padaku. Tak peduli dengan apapun aku langsung pergi ke rumahnya dan ibu billang akan menyusul ke kediaman Leo bersama ayah nanti malamnya. Jarak antara rumahku dengan rumahnya hanya dipisahkan oleh beberapa rumah saja, jadi dalam waktu beberapa menit saja aku dapat mencapai rumahnya. Banyak tetangga lain yang datang menyambut mereka saat itu. Dengan segera aku mencapai pintu dan mendapati tante Ratna dan om Jodi sedang bercengkeramah bersama tamu-tamu yang menyambut mereka.
Aku bertanya pada mereka,”di mana Leo tante?”. Tanpa mereka menjawab pertanyaanku aku langsung mencarinya ke dalam rumah dengan gembira dan tergesa-gesa karena aku sangat ingin mengetahui bagaimana keadaannya setelah tiga tahun lamanya tidak berjumpa. Tetapi aku tak mendapati dia di sana. Aku tak mendapati siapapun dengan airmata yang mulai menggenang. “Mungkinkah dia berada di taman” fikirku. Aku langsung berlari melewati ruang tengah dan kemudian menuju ruang tamu.
Tante Ratna memanggilku di saat aku akan menggapai daun pintu untuk menuju taman. Aku menghampirinya dan bertanya,”ada apa tante? Di mana Leo mengapa aku tidak menemukannya di kamarnya? Apa dia berada di taman tante? Oh ya kabar om dan tante pasti baik-baik saja kan di sana! Terlihat jelas dari senyumnya. Aku rindu sekali dengan om, dengan tante juga.” Ucapku hanya sekedar menegur.
Tante Ratna berkata,” rindu dengan siapa?” sedang om Jodi hanya tersenyum kecil. Senyum tante Ratna dan om Jodi yang mengarah padaku hanya membuatku kikuk jadinya. Pipi ku serasa panas dan memerah begitu mendengar kata tante Ratna.
Aku pun mengulangi lagi pertanyaan ku yang belum di jawab oleh mereka,” di mana Leo tante? Di mana Leo om? Mengapa aku tidak menemukannya di mana-mana?”
“kemarilah, duduklah dulu bersama kami!” aku pun menurut pada om Jodi dan duduk di samping tente Ratna. “Leo tidak ikut bersama kami karena dia harus menyelesaikan sekolahnya di sana. Om khawatir dia akan terlalu banyak tertinggal pelajaran jika harus berpindah sekolah karena prosesnya pasti akan membuat banyak waktu yang tersita.” Begitu tutur om Jodi.
Tak terasa mataku telah digenangi air mata. Aku tak sadar saat itu. Di saat air mata itu ku menetes membasahi pipi ku dan membuat ku terisak karenanya. Tak ada yang bisa ku ucapkan saat itu. Aku hanya bisa menangis di pelukan tante Ratna, menangis, dan menangis. Malam itu aku menangis hingga tertidur di sofa rumah om Jodi.
Esoknya aku terbangun dengan mata yang berat dan perih terasa. Aku tersadar bahwa kamar yang ku tempati bukanlah kamarku. Ini adalah kamar Leo. Tapi bagaimana bisa aku berada di kamar Leo. Aku langsung lari keluar dari kamar dan menemui tante Ratna untuk meminta izin pulang tetapi tante Ratna mencegahku.
“Jangan pulang dulu! Tante ingin kamu diam dulu di sini sebentar untuk menemani tante. Kemarin kamu terlalu lama menangis sampai-sampai tertidur di sofa, jadi om Jodi memindahkan kamu ke kamar Leo. Tenang, orang tua mu semalam datang ke sini dan tante Ratna menceritakan apa yang terjadi jadi mereka mengerti keadaan mu dan membiarkan mu menginap di sini.”ujar sang tante.
Setelah kejadian itu aku sering sekali menginap di rumah tante Ratna untuk menemani tante Ratna karena tak jarang pula om Jodi harus pergi ke Kalimantan untuk mengurus pekerjaannya dan mengunjungi Leo untuk beberapa minggu sekali. Aku melakukan banyak hal bersama tante Ratna di saat om Jodi pergi. Sering pula ibu ku turut serta dalam berbagai macam kegiatan yang aku lakukan bersama tante Ratna.
Di saat om jodi tiba di Jawa aku, ibu, ayah, tante Ratna dan om Jodi sering melakukan banyak hal bersama-sama. Aku menyayangi mereka seperti aku menyangi kedua orang tua ku sendiri. Semua berlalu dengan sangat menyenangkan. Mereka melakukannya untuk membuatku tidak merasa sepi dan terlalu murung dengan tidak adanya Leo di sela-sela kebahagiaan kami.
Namun, apapun yang mereka lakukan untuk membuatku tidak terlalu memikirkan Leo sangatlah keliru karena aku tetap ingat dengannya dan tanpa perlu menangis lagi tentunya. Semuanya begitu menyenangkan tetapi terasa begitu hampa ku rasakan karena aku berharap ia akan turut melakukan semua ini bersama kami. Merasakan kebahagiaan bersama kami.
Kini semuanya telah berlalu selama tiga tahun setelah kedatangan om Jodi dan tante Ratna. Aku tiba di halaman belakang dan melihat seseorang berdiri tegap membelakangi ku sedang mengamati taman itu dan terlihat sedang mengenang semua yang telah berlalu di sana. Sesosok pria jangkung dengan perawakan tegap dan badan yang gagah. “diakah Leo saat ini? Diakah leo yang selalu ku nanti? Diakah Leo yang yang pergi tanpa pernah mengabari?” kataku dalam hati.
Aku berlari memeluknya dari belakang. Merasakan pundak yang begitu bidang dan merasakan rindu yang sudah terluapkan. Otot-ototnya terasa pada lenganku yang ku melingkar pada tubuhnya. Sungguh aku tak ingin melepaskan pelukan ini. Aku menangis dan membisu. Tak sanggup aku mengungkapkan apapun. Aku merasakan gerakannya yang menoleh berusaha untuk memandangku.
Dia menggenggam kedua tanganku. Aku merasakan jari-jari yang begitu kuat meremas jari-jari tak elokku dan dengan tetap menggenggam tanganku ia berbalik untuk memandangku. Ia memandangku dan aku hanya tertunduk karena tak berani membalas pandangannya. Aku hanya menangis dan kemudian memeluknya lagi. Sungguh ku merasa sangat nyaman dan aman dalam pelukannya. Aku mulai membuka mulut ku bertanya “ mengapa kau tak pernah menjengukku? Berapa banyak surat yang ku kirim tapi kau tak pernah meresponnya. Apakah itu adil untukku yang selalu tak sanggup membencimu di saat aku tak pernah mendapati sepucuk surat yang datang untuk menjawab semua kegelisahanku? Aku tak bisa lupa sedikitpun dan aku tak bisa benci sedikitpun. Aku tak bisa dan sungguh tak bisa.”
Aku memberanikan diri untuk menatap matanya dan aku terkejut. Sungguh sangat terkejut ketika aku mendapati mata tajam itu adalah milik seseorang yang aku caci tadi pagi. Aku terkejut di saat aku ingat bahwa dia adalah seseorang yang hampir ku tonjok dengan kepalan tangan ku sendiri. Aku melepaskan lingkaran tanganku darinya dan mundur selangkah dengan tetap menatap matanya. Namun di setiap aku mengangkat kakiku untuk mundur selangkah demi selangkah diapun turut melangkahkan kakinya untuk maju selangkah demi selangkah sampai badanku terbentur dengan tembok di belakangku tanpa melepaskan tatapannya padaku. Kedua telapak tangannya yang bersandar pada tembok membuatku terkurung dan mempersulitku untuk pergi. Aku menyerah untuk memberontak sungguh badan ku bergetar saat itu karena emosi itu sudah terlalu lama menguasai jiwaku. Aku menunduk tanpa berani menatapnya dan tetap terisak.
Aku tak berani berkata apapun saat mata tajam itu terus menatapku seolah-olah ia dapat membaca fikiranku. Ketika aku menundukkan kepala dia mendangakkan kepala ku dengan jarinya yang mengangkat daguku, mengusap air mata ku sedang aku berusaha untuk tidak memandang matanya dedngan terus memejamkan mata ku dan dia berkata, “mengapa kamu tidak berani lagi untuk menatap mataku seperti di saat tadi pagi kamu akan memukul ku? Mengapa kamu tidak lagi berani untuk menatapku jika kamu tahu bahwa aku adalah orang yang selama ini kamu tunggu? Mengapa? Tidakkah kamu melihat bahwa aku pun sangat merindukanmu!”
Setelah mendengar kata – katanya yang terakhir tangis ku sungguh menjadi karena terharu bahagia. Tak bisa lagi bagi ku untuk meredam tangis ku. Damai ku rasakan setelah apa yang ia katakan dan setelah aku berani untuk menatap mata itu. “ Le, Leo” kataku sambil berusaha untuk mengucapkan namanya. Dia kembali menyeka air mataku dan membiarkan kedua telapak tangannya berada pada kedua pipi ku. Kemudian ia tersenyum, mengecup mata ku dan mengambilku untuk berada dalam pelukannya.
Tangisan ku pun mereda dan berkata “Bagaimana bisa kamu mendahului ku untuk sampai ke rumah? Jangan-jangan kamu pun tahu kalau ternyata aku adalah…” tanyaku yang masih tak mengerti bagaimana dia dapat sampai lebih dulu daripada aku. Ia memotong kata-kata ku “ bagaimana aku bisa lupa denganmu kalau kamu terlalu sering hadir dalam mimpi ku? Bagaimana aku tidak dapat mendahului mu jika dalam perjalanan kamu terus membayangkan ku, memikirkan ku, dan tersenyum-senyum sendiri layaknya orang gila. Aku pun tidak akan pernah bisa lupa dengan tatap mata mu yang begitu tajam menantang. Bagaimana pula aku bisa lupa dengan Rosa yang lantang dan kejam seperti mu?” sesaat aku pipi ku di buatnya memerah dan sesaat pula langsung menjadi merah padam. Dia terus tertawa dan menertawakan ku.
Begitu dia melihat muka ku yang merah padam dia keburu kabur duluan ke ruang depan tempat dimana kedua orang tua kami sedang bercengkramah dan aku mengejarnya. Tapi dia berlindung di belakang ibu ku dan kemudian berlari lagi sambil berteriak, “ tolongggg, singanya sudah keluar tuh te….?” kedua orang tua kami menertawakan aku dan dia yang masih tetap seperti dulu. Di saat kami masih kecil dan Leo selalu saja menggoda ku yang pada akhirnya aku tidak bisa menggapai dan menghajarnya. Jika aku sudah tak dapat menggapainya, aku pasti akan menangis karena terlalu gemasnya keinginanku untuk memukulnya.
Tapi tidak untuk kali ini, aku berhasil menggapainya dan tentu saja aku akan menghajarnya. Setelah dia minta ampun pada ku aku pun merasa lega. Tak terasa terlalu jauh jarak yang ku tempuh hanya untuk menghajarnya. Pulangnya dia menarikku untuk naik punggungnya dan terus menggendongku sampai rumah. Senangnya hari ini.
“Yang hilang kini telah kembali. Mengisi kembali hati yang telah lama terkosongi. Tak ada yang mampu mengisi dan tak ada yang berhasil untuk mengganti karena semua sudah terpatri dalm lubuk hati jika hati ini hanya engkau yang memiliki.” Gumamku dalam hati setelah siang mulai berganti malam dengan menatap sang bintang rembulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar