“Belenggu dalam Segenap Rasa”
Seperti biasanya, di sebuah kebun di belakang rumah aku berputar-putar, bernyanyi dan menari. Memberitahu pada segenap binatang dan tumbuhan akan kebahagiaan yang ku rasakan. Merasakan kebahagiaan yang begitu hebatnya. Menampakkan betapa anggunnya diri ini kala itu. Menampakkan betapa menariknya diri ini kala itu.
Aku menari dan terus bernyanyi. Sejenak aku berhenti merentangkan kedua tangan dan menikmati udara segar di pagi hari. Menikmati kedinginan musim kemarau di pagi hari. Bersama tebalnya embun pagi yang tipis membasahi wajahku. Membuatku merasakan kelembutan sentuhan alam saat menyapaku dalam cinta. Membuatku merasakan kesungguhan hati dalam ketulusan jiwa.
Aku melangkah dan terus melangkah. Ingin ku capai sebuah gubuk di sudut kebun dengan beberapa pohon menghiasi dan menambahkan keteduhanya. Merasakan dingin yang membawa kesegaran dan menjadikan teduh pada penikmatnya.
Aku melangkah dan melangkah dengan bahagia berusaha mencapai gubuk sang peneduh jiwa. Memberikan aroma khas dedaunan pembentuknya. Ku pandang sebelah sisi gubuk itu. Begitu nyaman ku rasakan walau diri tak sampai dalam lindungan.
Kini aku berlari untuk mencapainya. Berusaha bersama kebahagiaan hati untuk mencurahkan segalanya. Ladang dan kebun belakang rumah ini begitu luas pula ternyata. Lumayan lelah namun tak kan mampu menghalangi ingin ku. “oh…. Sampai pula ternyata”. Dengan jarak kira-kira perlu melangkah lima langkah lagi aku berkata demikian.
Tetapi aku terkejut, terhenti dari langkah dan tercekat dengan apa yang telah ku lihat. Seorang pria tengah berdiri, bersandar pada sebuah tiang yang membantu tegak berdirinya gubuk dengan kaki kanan berada di depan kaki kiri dengan ujung sepatu menyentuh pada tanah. Begitu tampan dan menarik hingga membuat ku berbalik dan tak berani melirik.
Tak berani aku untuk memandang kembali pada sang pria. Aku terdiam dan berfikir “oh… mengapa dia berada di situ…? Bagaimana ini? Sikap ku tadi pasti sangat memalukan. Oh… malunya aku”. Jantungku berdegup begitu kencang seperti hendak berlari saja untuk meninggalkan sang pemilik jantung. Hati dan fikir ku menjerit ketika merasakan bahwa ia berada di belakangku dengan jarak yang begitu dekat saat ini. Membuat aliran darahku berdesir memanaskan seluruh tubuh. Ternganga aku dikejutkan olehnya kala lengannya kurasakan menyentuh pundakku.
“ahhhhh” Jerit ku dalam hati semakin kencang dan nyaring. Menggigil aku dibuatnya. Bergetar kencang seluruh tubuh karenanya. Keringatku mengalir begitu derasnya bak telah selesai mandi dalam sebuah telaga. Dalam diri ini ingin sekali berlari dan pergi menghindari rasa yang begitu buruk tetapi indah katanya. Namun kakiku terasa berat untuk di langkahkan. Hati dan fikirku sangat berjauhan. Tak ada keterpautan antara hati, fikir dan gerak pada tubuh ini. Lemas aku dibuatnya.
“oh…. Apa lagi ini? Mengapa harus ia berada di depanku saat ini” dengan tetap berkata dalam hati. Sang pria melangkah untuk dapat memandang wajahku yang tengah pilu. Ia meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat, dan menatap tajam pada kedua mataku. Ingin ku pejamkan mata ku namun hati tetaplah tak mau. Kini tangannya menyentuh pipiku dalam rona yang tengah malu. Geli ku rasakan pada wajah hingga leher ku dan ku sentuhkan pipi ku pada lengannya hingga dengan memiringkan kepalaku hingga geli itu tak lagi terasa.
Aku berkata, “mimpikah aku saat ini?” dalam raga penuh kesadaran namun jiwa entah merasakan. Ku raih tangannya yang menyentuh pipi ku dan ia meremasnya. Namun tak ada sakit yang terasa.
“tak ada mimpi di siang bolong. Mengapa kau hentikan nyanyian dan tarianmu padahal aku selalu mengamatimu. Dari tiap langkah, gerakan, dan senyuman yang terukir indah pada wajah mungilmu. Kemanakah akan kau langkahkan kakimu jika lima langkah lagi kau akan menemui sang pujaan hati yang ada dalam fikiranmu.” Katanya menyadarkanku.
Malunya aku begitu merasakan dan tersadarkan bahwa ini adalah kenyataan. Aku berusaha untuk pergi melewatinya dan berlari namun langkahnya terus menghalangiku. “ mau pergi kemana lagi kau? Tak ada satu ucap pun dari bibir mu atas semua perkataanku. Bahkan aku tak mengerti bagaimana sebenarnya hatimu pada ku. Mengapa selalu saja kau menghindar dari ku dan berlari jauh ketika kau melihat adanya diri ku. Adakah kesalahan pada semua tingkah laku ku yang membuat mu selalu saja menjauh dari ku. Bahkan aku pun tak pernah bisa mengatakan bagaimana sesungguhnya aku menyayangi mu. Haruskah aku diam dan tak melakukan apa pun jika aku ingin kau tahu akan semua rasa ini.” Katanya mengejutkanku.
Aku mendangakkan kepala ku dan terheran dengan semuanya. Ku tatap tajam mata itu. Mata yang pemiliknya telah mengatakan sesuatu yang begitu dahsyat bagi ku. “ saat ini apa yang bisa ku lakukan jika semua yang kau katakan itu hanyalah dusta. Dusta yang pada akhirnya hanyalah kan mencampakan segalanya. Membuatku tersungkur jauh dalam lubang kebinasaan. Haruskah pula aku menangis di setiap malamnya hanya karena semua hal yang akhirnya kan menyakitkan ku. Tak pernah aku ketahui mengapa aku selalu saja menghindar di kala melihat walau hanya sekilas diri mu. Aku takut akan rasa yang kan membuat ku terlihat bodoh seperti saat ini. Mengapa kau harus muncul di tempat yang sangat aku sukai? Harus bagaimana aku saat ini jika lari pun aku tak sanggup lagi.” Jawabku mengungkapkan segala emosi.
“tak puas aku dengan semua jawabanmu. Tak dapat aku mengerti semua perkataanmu. Tak ada niatan dalam hati ku untuk mendusta pada diri ku sendiri. Tak ada niatan dalam diri untuk membuat mu bersedih. Ingin aku menggenggam tangan mu di kala semua kekejaman berusaha menyakitimu. Ingin aku terus melindungi mu dan menjadi pangeran dalam hati mu. Tak sadarkah engkau dengan semua itu. Aku menyayangi mu dan sungguh menyayangimu. Kali ini ku telah mengatakannya dan merasa lega. Aku tahu pasti dalam hati mu pun begitu”. Aku menunduk berusaha untuk menyembunyikan rona merah malu pada wajah ku. “sok tahu” ujar ku.
“tak perlu kau sembunyikan itu jika memang itu yang ada dalam segenap hati mu. Mengapa kau tak lagi berani menengadahkan kepala mu dan menatap tajam pada mata ku seperti tadi di kala kau meluapkan semua emosi yang telah lama terbelenggu dalam diri mu.” Katanya yang berusaha memojokkan ku.
Air mata itu tertumpahkan sedari aku menunduk karena semua perkataan.Tangannya menyentuh dagu ku dan berusaha untuk memandang wajah ku. Ku pejamkan mata ku karena tak ingin lagi aku merasa malu atas tangis ku. Ia memandang dan mengamati tiap sisi pada wajah ku. Mengagumi indahnya wajah yang terlalu lama berada dalam sendu.
Ia menyeka air mata yang telah membasahi pipi. Ia mengusap dengan perlahan merasakan kenikmatan pada kehalusan. Kedua tangannya tetap melekat pada pipi ku lama dan membuat ku lelah dalam lama pejaman mata. Ku buka ke dua mata ku dan ku dapati wajah itu sangat dekat dengan wajah ku. Jantungku berpacu seperti hendak berhamburan. Terdiam aku dan tercekat, menelan ludah dalam tenggorokanku. Aku terkejut dan terus saja mata ini berkedip tak karuan karena perasaan. Ia terus menatap tajam dan terus membuat ku berada dalam ketidakwajaran kare aku merasakan malu yang sungguh menyesakkan. Setelah puas ia membuat perasaan ini tak karuan ia tertawa halus dan memeluk tubuh ku erat. Tak dapat aku menolaknya karena aku pun tak sadar akannya.
1 komentar:
waah..... Selamat berjuang mbak... Sastrawati kebangaan masa depan...! jadilah dian penerang melalui secuil tinta..
Posting Komentar